Senin, 30 Januari 2012

Riwayat Putri Nurjanu / Nibong Belegong



“Aaahhhhhh.....lelah sekali”
Aku mendengus pelan di sela-sela rintik hujan malam ini. Langkahku kian gegabah beradu cepat dengan air hujan. Suara kecipak-kecipuk terdengar merdu dari harmonisasi gesekan kakiku pada tanah coklat ini. Sejenak melepas kejenuhan dari rutinitas berladang aku dan yang lainnya selalu berbondong-bondong menyaksikan pertunjukkan campak sebagai hiburan di kampung kami.. Ternyata hujan tak mau berkompromi juga, bahkan semakin garang memuntahkan bulir-bulirnya. Aku lalu berlari-lari kecil dengan agak kerepotan mengimbangi daun pisang yang kugunakan sebagai pelindung kepala dari air hujan malam ini. Akhirnya tiba juga di rumahku, yang mungkin lebih tepat dengan nama gubuk bagi sebagian orang. Tapi aku tak sedikitpun peduli dengan hal itu, ini adalah hasil keringatku sendiri. Aku bangga dengan semua ini.
Sesaat kemudian aku sudah merebahkan diri di kamarku. Kamarku adalah sebuah ruangan kecil dengan dinding-dinding kayu yang dipenuhi bolong-bolong kecil di sana sini. Tubuhku hanya beralaskan kulit kayu jika melepas lelah hingga pulas di sini. Tapi aku selalu suka di sini, di kamar ini. Hal itu tentu saja bukan karena dinding bolongnya, atau karena alas tidur kulit kayunya tapi karena dia. Memikirkannya, membayangkannya, mengingatnya, dan mengenangnya terangkum indah dalam siluet kekaguman.
Ku miringkan tubuhku ke kanan, dan benci sekali aku karena di dinding ada dua ekor cicak yang tengah di mabuk asmara. Yang jantan terlihat menebar pesona penuh muslihat kepada betina. Dari sekilas gerak-geriknya aku tahu mereka tengah merasakan yang namanya cinta. Cinta begitu klise bagiku, sedikitpun aku tak pernah paham apa itu cinta. Cinta itu tak sempat ku pahami karena sejak kecil aku sudah disibukkan dengan yang namanya kerja keras di ladang. Terlebih aku adalah seorang lelaki, beginilah adat di kampung kami.
Mungkin bagi si jantan cicak betina itu begitu memesona. Selayaknya pesona dia di mataku. Dia memang begitu memesona, setiap jengkal yang ada dalam dirinya adalah hal berharga yang tiada duanya.  Parasnya begitu sempurna. Kulitnya bening laksana kaca, bahkan jika dia minum air yang diminumnya itu seakan terlihat jika melewati kerongkongannya. Rambutnya panjang terurai hitam memikat. Tingginya semampai jauh melampaui gadis-gadis seumurannya di desa kami. Apabila dia sedang berjalan, maka akan terhenti semua pekerjaan yang tengah dilakukan karena terpesona oleh keelokkan rupanya. Bukan main cantiknya bunga desa kami itu. Dia lah Putri Nurjanu.  Putri Nurjanu adalah anak gadis Dayang Samak. Beliau adalah orang yang lumayan dihormati di kampung kami, yaitu Kampung Kelekak Nangak. 
Tiba-tiba cicak betina itu bergerak menjauh menyiratkan keangkuhannya kepada si jantan. Mungkin itu lah sifat wanita jika merasa dirinya tengah dieluk-elukan lelaki. Tak terkecuali Putri Nurjanu tentunya. Kecantikannya menjadikan dia anak kesayangan Dayang Samak. Meskipun setiap hari ibunya itu bekerja keras membanting tulang, tapi tak pernah sekalipun Putri Nurjanu membantu ibunya ke ladang. Hari-harinya selalu disibukkan dengan kegiatan bersolek. Akan tetapi ibunya tak pernah sekalipun mempermasalahkan hal itu.
Putri Nurjanu memiliki seorang teman dekat yang bernama Bujang Dultalip. Bujang inilah yang selalu setia menemani hari-harinya. Akan tetapi penduduk tidak pernah menghiraukan perangai Putri Nurjanu dan temannya itu. Penduduk sekitar merasa bangga karena berkat kecantikan Nurjanu banyak orang dari kampung tetangga yang berkunjung ke kampung kami karena rasa penasarannya. Suatu ketika hasil panen penduduk Kelekak Nangak berlimpah dan meningkat cukup drastis. Tak terkecuali pula dengan Dayang Samak. Oleh karena itu, timbullah keinginan Dayang Samak untuk merayakan hal tersebut. Atas saran Dayang Samak maka penduduk patungan untuk mengumpulkan uang membeli alat-alat bercampak, seperti : Tawak-tawak, Gendang, gong besar, sedang, kecil, serta sejumlah alat pukul lainnya seperti Kelinang. Setelah terkumpul uang untuk membeli perlengkapan musik itu, maka kehidupan di kampung kami pun jadi makin meriah. Campak adalah kesenian tradisional dari Pulau Belitung. Biasanya dipertunjukkan oleh beberapa pasang penari pria dan wanita diiringi oleh alat musik dan nyanyian khasnya. Semenjak itu lah kami punya hiburan di sela-sela kegiatan sehari-hari.
Singkat cerita tidak hanya mengusulkan membeli alat musik campak. Tapi Dayang Samak kemudian merubah corak kehidupan kampung kami. Kalau sebelumnya rumah-rumah di kampung kami hanya berasal dari kulit kayu dan lantai gelegar saja, kini banyak penduduk yang membuat rumah berlantaikan tanah. Dayang Samak berpikir jika dia harus lebih dari yang lainnya, dia pun membangun rumah tinggi, dan menjadi paling tinggi di Dudat saat itu.  Hal ini pun juga menjadikan Nurjanu semakin angkuh karena merasa berbeda dari penduduk kampung kami lainnya. Maka semenjak saat itu, keangkuhan dan kesombongan Nurjanu semakin menjadi-jadi.
Hujan di luar semakin lebat. Tapi aku sedikit pun belum merasakan kantuk. Sebetulnya sekarang bukan musim hujan, bahkan sudah cukup lama hujan tidak turun. Tadi pagi ketika aku berangkat ke ladang tak sedikit pun nampak tanda-tanda akan hujan. Begitu pun hingga senja menjelang semuanya terlihat damai saja. Malamnya tentu saja aku dan seluruh penduduk kampung tidak berharap hujan datang sama sekali. Tapi nyatanya malam ini setelah pertunjukkan selesai dengan serta merta hujan turun. Entah ingin mengabarkan apa. Tapi bagiku tetes demi tetes air hujan malam ini seakan membawa kembali kepingan yang hilang itu.
Malam ini adalah waktunya pertunjukkan campak. Bukan main senangnya hati kami mendengar kata ‘campak’. Karena hiburan ini selalu kami nanti-nantikan. Tua muda membaur jadi satu saling bercengkrama sambil menyaksikan pertunjukkan campak. Sedari tadi aku menyebutkan semua penduduk kampung kami, maka tak terkecuali Putri Nurjanu tentunya. Sebagai bunga desa, Putri Nurjanu adalah salah satu penari campak yang ditunggu-tunggu semuanya.
Ku lirik dua ekor cicak tadi. Ternyata mereka masih betah di sana. Tapi kali ini betina nya terlihat sedikit menggoyangkan ekornya. Entahlah apa maksudnya, aku pun tak paham. Namun goyangan ekor si betina itu menguapkan memoriku pada lengak-lenggoknya ketika menari campak. Siapa lagi kalau bukan Putri Nurjanu. Kepiawaiaannya dalam menari campak selalu menarik setiap pasang mata yang menyaksikannya. Lentik jemarinya berpadu serasi dengan lincah hentakan kakinya. Wajahnya yang putih berseri memantul indah penuh keangkuhan. Sorot matanya tajam penuh muslihat. Ah, aku selalu suka dengan sorot matanya itu. Setiap menari campak dia selalu memilih berpasangan dengan laki-laki paling tampan di antara yang ikut campak. Hal itu membuat laki-laki yang tidak bisa bercampak dengannya menjadi rendah diri dan tak mau ikut bercampak.
Suatu sore seperti biasanya, Putri Nurjanu tengah duduk berangin-angin di bagian atas rumah tinggalnya. Sore itu masih seperti biasanya banyak lelaki yang lewat walau hanya sekedar melihat. Tapi dengan tanpa rasa bersalah karena keangkuhannya dia meludahi setiap lelaki yang lewat. Hingga suatu ketika terjadi peristiwa itu, dia meludahi seorang pemuda yang konon dari daerah Belantu. Begitu Nurjanu meludah pemuda itu langsung menatap dan memungut ludah yang jatuh dekat kakinya itu. Kemudian pemuda itu berlalu dari hadapan Nurjanu dengan diiringi derai tawa penghinaan darinya.
“Wanita itu harus diberi pelajaran. Jangan karena cantik dia menjadi sombong” gerutu pemuda itu di dalam hati penuh dengan dendam. Dia pun langsung pulang ke Belantu sambil merencanakan pembalasan atas penghinaan Nurjanu.
Masalah yang satu ini aku tak pernah sedikit pun seceroboh mereka. Mereka semua yang mengagumi paras elok Nurjanu. Aku tak pernah sekali pun menginginkan menari campak bersamanya. Aku tak pernah sekali pun lewat di dekatnya untuk sekedar melihat wajah rupawannya itu. Aku lebih senang mengaguminya tanpa tergesa-gesa. Sebetulnya aku hanya menyukai sorot mata angkuhnya itu. Maka aku lebih senang melihatnya menari campak dari jauh, maka aku lebih puas memandangnya dari kejauhan di sore hari. Aku lebih senang dengan bias kesombongan dari ekor matanya ketika menatap.
Jenuh menyaksikan drama dua ekor cicak itu, aku lalu berbalik telentang menatap atap-atap daun rumbia yang sudah bocor di sana-sini itu. Atap-atap itu seakan memantulkan fatamorgana dari atas langit gelap yang pekat malam ini. Celahnya seakan mengamatiku yang tengah berbaring di sini. Mengamati gerak-gerik ku sedari tadi. Selayaknya pemuda dari Belantu itu ketika suatu hari kembali ke kampung kami. Rasa dendam betul-betul sudah menguasai pemuda itu. Dia merasa sakit hati dan kecewa atas penghinaan Putri Nurjanu beberapa waktu yang lalu. Suatu ketika dia kembali terlihat di kampung kami dengan menjinjing sebuah keranjang bambu.  Matanya tak pernah lepas mengawasi gerak-gerik Nurjanu setiap pagi dan sore. Rupanya pemuda itu tengah mencari tahu di mana si jelita yang sombong itu mandi. Akhirnya dia pun tahu Nurjanu selalu mandi di Air Magnum dikawal Bujang Dultalip tentunya.  Suatu siang dia pergi ke bagian hulu Air Magnum. Tak ada satu orang pun yang tahu apa kegiatan pemuda itu di sana.
Suatu hari ketika tengah mandi di Air Magnum seperti biasanya, Nurjanu mendekati bagian hulu. Dia menjadi penasaran karena banyak penduduk yang menceritakan ada sebatang bambu aneh yang tumbuh di hulu Air Magnum. Ketika sudah dekat dengan bambu itu dia tak menemukan sedikit pun keanehan. Dia kemudian kembali mandi dan tertawa cekikikan seperti ada yang menggelikan hatinya. Beberapa saat kemudian Nurjanu berteriak histeris, kontan saja teriakannya itu membuat Bujang Dultalip mendekat. Alangkah terkejutnya Dultalip ketika menyaksikan tubuh Nurjanu telah terbujur kaku. Putri yang sombong itu telah tewas. Dultalip pun lalu membawa mayat Nurjanu ke rumah Dayang Samak dan di kuburkan di sebuah tempat yang tak jauh dari rumah tersebut. Sejak saat itu tak seorang pun penduduk kampung kami berani mandi di Air Magnum sebab akan tewas seketika seperti nasib Nurjanu. Konon,dari kisah inilah racun Belantu jadi terkenal.
Merasa takut akan jatuh korban berikutnya semua penduduk kampung kami hijrah ke kampung tetangga. Kampung ini bernama Prepat sekitar lima kilometer dari Dudat. Kami membawa seluruh barang-barang, termasuk alat musik pengiring untuk becampak. Di tempat baru itu kami pun tetap melanjutkan kehidupan dengan mencari pekarangan untuk di buat pekasam. Kami juga tak lupa sesekali menghibur diri dengan menari campak setelah letih bekerja seharian. Namun setelah Nurjanu tiada setiap kali penduduk Prepat becampak dengan menggunakan alat musik dari Dudat, seringkali terlihat seorang putri cantik di tengah pertunjukkan ikut menyaksikan orang becampak. Penduduk menduga dia adalah arwah Nurjanu yang penasaran.
Pada suatu malam Dayang Samak mendapat mimpi bahwa untuk menenangkan arwah putrinya, gong besar pengiring musik campak harus dikuburkan tak jauh dari kuburan Nurjanu. Akhirnya setelah bermufakat dengan tetua kampung diaraklah gong besar itu dari Prepat ke Kelekak Aik Nangkak untuk di kuburkan berdampingan dengan makam Nurjanu.
Yah, begitulah sesungguhnya. Jelita kampung kami yang angkuh itu kini telah tiada karena kesombongannya sendiri. Memang setiap sore tak ada lagi yang duduk menjuntaikan kaki di rumahnya sekedar menebar pesonanya. Tapi semenjak itu pula aku bagian itu menjadi penting dalam ingatanku. Memang tak ada lagi lenggak-lenggoknya yang berbalut keangkuhan menghiasi tarian campak. Tapi semenjak itu pula lebih dari sebelumnya aku tak pernah absen menyaksikan pertunjukkan campak. Ini terdengar aneh mungkin. Tapi aku tak peduli. Setelah Nurjanu tiada, aku menyadari betapa aku mengaguminya  justru karena kesombongannya itu. Ini adalah sepotong dari serangkaian kisah hidupku yang nanti akan ku ceritakan pada keturunanku. 


Malam semakin kelam.  Aku perlahan terpejam. Mengacuhkan sepasang cicak yang sejak tadi dimabuk asmara. Hingga besok pagi kembali menjelang.
******
Beberapa tahun setelah gong tersebut di kuburkan,di atas kedua kuburan tersebut muncul masing-masing sebatang pohon nobong ( nibung ).Sejak saat itulah kuburan dan tempat gong tadi terkenal dengan sebutan Nibong Belegong,yang diinterpretasikan pohon nibung yang ada gongnya.

Menurut si empunya cerita hingga saat ini peralatan musik campak dari Dudat itu masih bisa dimainkan. Namun,kalau suara gong terdengar sember maka harus di bersihkan dengan air pekasam dari Dudat. Setelah itu gong itu pun akan berbunyi nyaring kembali. Malah suaranya akan terdengar makin nyaring jika malam semakin larut.

Menurut penduduk setempat saat ini di tempat Nibong Belegong tadi kadang sering terdengar suara gong lalu disusul dengan munculnya Putri Nurjanu yang sedang menari.

(Naskah ini ditulis ulang dengan sudut penceritaan masa kini oleh Apriani Yulianti )







Tidak ada komentar:

Posting Komentar