Senin, 30 Januari 2012

KELINGKING PUTRI BAMBU

Akhirnya punya kesempatan lagi untuk meluangkan waktu mengajak jari-jari saya menari-nari lincah di atas keyboard ini. Saya memang sedang tidak sibuk apalagi disibukkan oleh seabrek aktifitas, terlebih sok menyibukkan diri. Yah..... lebih kepada penyakit alami (baca : malas). Hehe...
Semalam menyempatkan diri sebentar untuk menjenguk blog saya sekedar iseng di sela-sela memantau akun facebook tentunya. Dan ternyata eh ternyata pengikut blog saya bertambah satu (jika sebelumnya memang hanya satu, yaitu saya)...haha. waahh,,,senang sekali ketika bertambah satu pengikut di blog saya, tapi tiba-tiba saya sadar jika blog saya ini tergolong lumayan “gersang”, postingannya sedikit dan jarang diperbaharui maka timbul pula rasa malu. Memang saya akui blog ini adalah blog kedua yang saya buat setelah blog pertama yang saya buat karena tugas matakuliah Media Pembelajaran. Blog pertama itu passwordnya lupa, maka saya pun memutuskan untuk membuat blog lagi.  Setelah saya pikir-pikir pengikut baru ini kemungkinan besar mendapat alamat blog saya dari biodata saya sebagai salah satu penulis pada buku “Kelingking Putri Bambu” yang merupakan buku himpunan cerita rakyat belitong.
Ehmm...maka baiklah, pada kesempatan ini saya akan bercerita mengenai “kelingking Putri Bambu” yang menjadi penyebab saya memutuskan pulang ke Belitung di sisa libur semester ganjil yang tinggal tersisa beberapa hari lagi. Pada awal-awal libur kemarin saya dan teman-teman melakukan kegiatan praktikum matakuliah Problematik Bahasa Indonesia dengan berkunjung ke Balai Bahasa Yogyakarta, untuk melakukan semacam diskusi mengenai berbagai masalah problematik dalam Bahasa Indonesia. Kegiatan praktikum itu berlangsung selama 3 hari ditambah kegiatan refreshing dan jalan-jalan ke berbagai tempat wisata di kota gudeg itu. Maka setelah pulang dari Yogyakarta sisa liburan saya tinggal kurang lebih satu minggu. Otomatis keinginan untuk tidak pulang sudah bulat dalam tekad saya. Akan tetapi beberapa hari kemudian niat yang sudah bulat itu goyah seketika ketika membuka email dan mengecek di inbox terdapat email undangan dari panitia lomba sayembara penulisan ulang cerita rakyat Belitong. Bulan desember lalu saya memang mengirimkan empat buah naskah cerita rakyat Belitong yang sudah saya tulis ulang dengan sudut penceritaan masa kini, dalam rangka mengikuti sayembara penulisan ulang cerita rakyat belitong yang diadakan oleh Komunitas Sastra Lenggang. Saya tertarik dengan lomba tersebut karena naskah yang terpilih sebagai pemenang nantinya akan dibukukan. Saya berpikir ini akan jadi pengalaman pertama yang menyenangkan bagi seorang penulis awam seperti saya...hehe.  Maka setelah mendapat undangan untuk menghadiri acara pengumuman pemenang itu saya pulang ke Belitung. moment ini juga bertepatan dengan HUT kabupaten Belitung Timur yang ke-9. Berikut adalah foto saya bersama para pemenang lainnya, jajaran pejabat daerah Belitung Timur dan panitia lomba sesaat setelah pengumuman pemenang.




Dan berikut adalah cover dari buku himpunan cerita rakyat Belitong yang memuat naskah seluruh pemenang sayembara termasuk naskah saya di dalamnya. Buku ini di beri judul “KELINGKING PUTRI BAMBU” (HIMPUNAN CERITA RAKYAT BELITONG). Seperti niat awal Panitia lomba yang menginginkan sayembara ini nantinya akan menghasilkan cerita rakyat Belitong yang tidak lagi kuno, tapi diceritakan dengan sudut penceritaan masa kini tanpa menghilangkan hakikat cerita rakyat itu sendiri. Maka semua cerita dalam buku tersebut adalah angin segar bagi generasi masa kini. Kita tidak akan dijejali dengan pemaparan yang membosankan tapi cenderung kekinian dan tetap mendapatkan makna dari cerita rakyat itu sendiri.





Selanjutnya adalah foto daftar isi cerita yang terdapat dalam buku tersebut. Oh iya,,, adapun pemenang lomba tersebut beserta judul naskahnya adalah sebagai berikut : Alee Kitonanma (Putri Bambu), pemenang I; Wulandari Amor Ganelsa (Kelingking), pemenang II ; Dra.Nurmariana (Padang Buang Anak), pemenang III. Selanjutnya penulis terbaik (berdasarkan abjad) : Alief SM (Hikayat Tuk Rangga Tuban dan Keramat Bujang); Apriani Yulianti (Telaga Moyang Manis; Riwayat Putri Nurjanu atawa Nibong Belegong) ; Dana Dayan (Mak Cuan); Iggoy el Fitra (Legenda Antu Berasuk); Rihani Derais (Ular Renggiong); Wahyuni Ismail (Si kantan); dan Wuri Wigunaningsih (Nek Tegalong Buntut).







Dari empat naskah yang saya ikut sertakan dalam lomba, Alhamdulillah dua diantaranya berhasil mendapat juara. Telaga Moyang Manis mendapatkan penulis terbaik ke-3 sementara itu Riwayat Putri Nurjanu (Nibong Belegong) berhasil mendapatkan penulis terbaik ke-6.
Mengharu biru sekali rasanya setelah membaca buku “Kelingking Putri Bambu” tersebut, menyadari karya saya telah bersanding dengan karya-karya pemenang lainnya yang luar biasa. Menyadari sebagian pemenang adalah penulis yang sudah malang-melintang di dunia tulis menulis saya pun bertambah bahagia, di antara mereka ada yang sudah pernah beberapa kali menelurkan karyanya dalam buku-buku antologi cerpen maupun puisi, di antara mereka ada yang berprofesi sebagai jurnalis dan rutin menulis berbagai artikel tentunya, bahkan di antara mereka ada yang sudah memiliki nama pena. Telaga Moyang Manis dan Riwayat Putri Nurjanu (Nibong Belegong) yang terdapat dalam buku “Kelingking Putri Bambu” ini telah saya posting di blog ini sebelumnya.
Terima kasih kepada Allah SWT yang tanpa izin dan kehendaknya semua ini tidak akan seperti ini, terima kasih kepada kedua orang tua saya, para panitia sayembara ini, para dewan juri, kepada “orang dekat yang bukan kerabat apalagi sekedar sahabat”, dan semua yang menyayangi saya. Saya sangat sadar hal ini bukanlah apa-apa. Lagi-lagi semoga saja hal ini bisa menjadi motivasi bagi saya, anda, dan siapapun untuk memperkaya dunia tulis-menulis di Indonesia.  ^^

Riwayat Putri Nurjanu / Nibong Belegong



“Aaahhhhhh.....lelah sekali”
Aku mendengus pelan di sela-sela rintik hujan malam ini. Langkahku kian gegabah beradu cepat dengan air hujan. Suara kecipak-kecipuk terdengar merdu dari harmonisasi gesekan kakiku pada tanah coklat ini. Sejenak melepas kejenuhan dari rutinitas berladang aku dan yang lainnya selalu berbondong-bondong menyaksikan pertunjukkan campak sebagai hiburan di kampung kami.. Ternyata hujan tak mau berkompromi juga, bahkan semakin garang memuntahkan bulir-bulirnya. Aku lalu berlari-lari kecil dengan agak kerepotan mengimbangi daun pisang yang kugunakan sebagai pelindung kepala dari air hujan malam ini. Akhirnya tiba juga di rumahku, yang mungkin lebih tepat dengan nama gubuk bagi sebagian orang. Tapi aku tak sedikitpun peduli dengan hal itu, ini adalah hasil keringatku sendiri. Aku bangga dengan semua ini.
Sesaat kemudian aku sudah merebahkan diri di kamarku. Kamarku adalah sebuah ruangan kecil dengan dinding-dinding kayu yang dipenuhi bolong-bolong kecil di sana sini. Tubuhku hanya beralaskan kulit kayu jika melepas lelah hingga pulas di sini. Tapi aku selalu suka di sini, di kamar ini. Hal itu tentu saja bukan karena dinding bolongnya, atau karena alas tidur kulit kayunya tapi karena dia. Memikirkannya, membayangkannya, mengingatnya, dan mengenangnya terangkum indah dalam siluet kekaguman.
Ku miringkan tubuhku ke kanan, dan benci sekali aku karena di dinding ada dua ekor cicak yang tengah di mabuk asmara. Yang jantan terlihat menebar pesona penuh muslihat kepada betina. Dari sekilas gerak-geriknya aku tahu mereka tengah merasakan yang namanya cinta. Cinta begitu klise bagiku, sedikitpun aku tak pernah paham apa itu cinta. Cinta itu tak sempat ku pahami karena sejak kecil aku sudah disibukkan dengan yang namanya kerja keras di ladang. Terlebih aku adalah seorang lelaki, beginilah adat di kampung kami.
Mungkin bagi si jantan cicak betina itu begitu memesona. Selayaknya pesona dia di mataku. Dia memang begitu memesona, setiap jengkal yang ada dalam dirinya adalah hal berharga yang tiada duanya.  Parasnya begitu sempurna. Kulitnya bening laksana kaca, bahkan jika dia minum air yang diminumnya itu seakan terlihat jika melewati kerongkongannya. Rambutnya panjang terurai hitam memikat. Tingginya semampai jauh melampaui gadis-gadis seumurannya di desa kami. Apabila dia sedang berjalan, maka akan terhenti semua pekerjaan yang tengah dilakukan karena terpesona oleh keelokkan rupanya. Bukan main cantiknya bunga desa kami itu. Dia lah Putri Nurjanu.  Putri Nurjanu adalah anak gadis Dayang Samak. Beliau adalah orang yang lumayan dihormati di kampung kami, yaitu Kampung Kelekak Nangak. 
Tiba-tiba cicak betina itu bergerak menjauh menyiratkan keangkuhannya kepada si jantan. Mungkin itu lah sifat wanita jika merasa dirinya tengah dieluk-elukan lelaki. Tak terkecuali Putri Nurjanu tentunya. Kecantikannya menjadikan dia anak kesayangan Dayang Samak. Meskipun setiap hari ibunya itu bekerja keras membanting tulang, tapi tak pernah sekalipun Putri Nurjanu membantu ibunya ke ladang. Hari-harinya selalu disibukkan dengan kegiatan bersolek. Akan tetapi ibunya tak pernah sekalipun mempermasalahkan hal itu.
Putri Nurjanu memiliki seorang teman dekat yang bernama Bujang Dultalip. Bujang inilah yang selalu setia menemani hari-harinya. Akan tetapi penduduk tidak pernah menghiraukan perangai Putri Nurjanu dan temannya itu. Penduduk sekitar merasa bangga karena berkat kecantikan Nurjanu banyak orang dari kampung tetangga yang berkunjung ke kampung kami karena rasa penasarannya. Suatu ketika hasil panen penduduk Kelekak Nangak berlimpah dan meningkat cukup drastis. Tak terkecuali pula dengan Dayang Samak. Oleh karena itu, timbullah keinginan Dayang Samak untuk merayakan hal tersebut. Atas saran Dayang Samak maka penduduk patungan untuk mengumpulkan uang membeli alat-alat bercampak, seperti : Tawak-tawak, Gendang, gong besar, sedang, kecil, serta sejumlah alat pukul lainnya seperti Kelinang. Setelah terkumpul uang untuk membeli perlengkapan musik itu, maka kehidupan di kampung kami pun jadi makin meriah. Campak adalah kesenian tradisional dari Pulau Belitung. Biasanya dipertunjukkan oleh beberapa pasang penari pria dan wanita diiringi oleh alat musik dan nyanyian khasnya. Semenjak itu lah kami punya hiburan di sela-sela kegiatan sehari-hari.
Singkat cerita tidak hanya mengusulkan membeli alat musik campak. Tapi Dayang Samak kemudian merubah corak kehidupan kampung kami. Kalau sebelumnya rumah-rumah di kampung kami hanya berasal dari kulit kayu dan lantai gelegar saja, kini banyak penduduk yang membuat rumah berlantaikan tanah. Dayang Samak berpikir jika dia harus lebih dari yang lainnya, dia pun membangun rumah tinggi, dan menjadi paling tinggi di Dudat saat itu.  Hal ini pun juga menjadikan Nurjanu semakin angkuh karena merasa berbeda dari penduduk kampung kami lainnya. Maka semenjak saat itu, keangkuhan dan kesombongan Nurjanu semakin menjadi-jadi.
Hujan di luar semakin lebat. Tapi aku sedikit pun belum merasakan kantuk. Sebetulnya sekarang bukan musim hujan, bahkan sudah cukup lama hujan tidak turun. Tadi pagi ketika aku berangkat ke ladang tak sedikit pun nampak tanda-tanda akan hujan. Begitu pun hingga senja menjelang semuanya terlihat damai saja. Malamnya tentu saja aku dan seluruh penduduk kampung tidak berharap hujan datang sama sekali. Tapi nyatanya malam ini setelah pertunjukkan selesai dengan serta merta hujan turun. Entah ingin mengabarkan apa. Tapi bagiku tetes demi tetes air hujan malam ini seakan membawa kembali kepingan yang hilang itu.
Malam ini adalah waktunya pertunjukkan campak. Bukan main senangnya hati kami mendengar kata ‘campak’. Karena hiburan ini selalu kami nanti-nantikan. Tua muda membaur jadi satu saling bercengkrama sambil menyaksikan pertunjukkan campak. Sedari tadi aku menyebutkan semua penduduk kampung kami, maka tak terkecuali Putri Nurjanu tentunya. Sebagai bunga desa, Putri Nurjanu adalah salah satu penari campak yang ditunggu-tunggu semuanya.
Ku lirik dua ekor cicak tadi. Ternyata mereka masih betah di sana. Tapi kali ini betina nya terlihat sedikit menggoyangkan ekornya. Entahlah apa maksudnya, aku pun tak paham. Namun goyangan ekor si betina itu menguapkan memoriku pada lengak-lenggoknya ketika menari campak. Siapa lagi kalau bukan Putri Nurjanu. Kepiawaiaannya dalam menari campak selalu menarik setiap pasang mata yang menyaksikannya. Lentik jemarinya berpadu serasi dengan lincah hentakan kakinya. Wajahnya yang putih berseri memantul indah penuh keangkuhan. Sorot matanya tajam penuh muslihat. Ah, aku selalu suka dengan sorot matanya itu. Setiap menari campak dia selalu memilih berpasangan dengan laki-laki paling tampan di antara yang ikut campak. Hal itu membuat laki-laki yang tidak bisa bercampak dengannya menjadi rendah diri dan tak mau ikut bercampak.
Suatu sore seperti biasanya, Putri Nurjanu tengah duduk berangin-angin di bagian atas rumah tinggalnya. Sore itu masih seperti biasanya banyak lelaki yang lewat walau hanya sekedar melihat. Tapi dengan tanpa rasa bersalah karena keangkuhannya dia meludahi setiap lelaki yang lewat. Hingga suatu ketika terjadi peristiwa itu, dia meludahi seorang pemuda yang konon dari daerah Belantu. Begitu Nurjanu meludah pemuda itu langsung menatap dan memungut ludah yang jatuh dekat kakinya itu. Kemudian pemuda itu berlalu dari hadapan Nurjanu dengan diiringi derai tawa penghinaan darinya.
“Wanita itu harus diberi pelajaran. Jangan karena cantik dia menjadi sombong” gerutu pemuda itu di dalam hati penuh dengan dendam. Dia pun langsung pulang ke Belantu sambil merencanakan pembalasan atas penghinaan Nurjanu.
Masalah yang satu ini aku tak pernah sedikit pun seceroboh mereka. Mereka semua yang mengagumi paras elok Nurjanu. Aku tak pernah sekali pun menginginkan menari campak bersamanya. Aku tak pernah sekali pun lewat di dekatnya untuk sekedar melihat wajah rupawannya itu. Aku lebih senang mengaguminya tanpa tergesa-gesa. Sebetulnya aku hanya menyukai sorot mata angkuhnya itu. Maka aku lebih senang melihatnya menari campak dari jauh, maka aku lebih puas memandangnya dari kejauhan di sore hari. Aku lebih senang dengan bias kesombongan dari ekor matanya ketika menatap.
Jenuh menyaksikan drama dua ekor cicak itu, aku lalu berbalik telentang menatap atap-atap daun rumbia yang sudah bocor di sana-sini itu. Atap-atap itu seakan memantulkan fatamorgana dari atas langit gelap yang pekat malam ini. Celahnya seakan mengamatiku yang tengah berbaring di sini. Mengamati gerak-gerik ku sedari tadi. Selayaknya pemuda dari Belantu itu ketika suatu hari kembali ke kampung kami. Rasa dendam betul-betul sudah menguasai pemuda itu. Dia merasa sakit hati dan kecewa atas penghinaan Putri Nurjanu beberapa waktu yang lalu. Suatu ketika dia kembali terlihat di kampung kami dengan menjinjing sebuah keranjang bambu.  Matanya tak pernah lepas mengawasi gerak-gerik Nurjanu setiap pagi dan sore. Rupanya pemuda itu tengah mencari tahu di mana si jelita yang sombong itu mandi. Akhirnya dia pun tahu Nurjanu selalu mandi di Air Magnum dikawal Bujang Dultalip tentunya.  Suatu siang dia pergi ke bagian hulu Air Magnum. Tak ada satu orang pun yang tahu apa kegiatan pemuda itu di sana.
Suatu hari ketika tengah mandi di Air Magnum seperti biasanya, Nurjanu mendekati bagian hulu. Dia menjadi penasaran karena banyak penduduk yang menceritakan ada sebatang bambu aneh yang tumbuh di hulu Air Magnum. Ketika sudah dekat dengan bambu itu dia tak menemukan sedikit pun keanehan. Dia kemudian kembali mandi dan tertawa cekikikan seperti ada yang menggelikan hatinya. Beberapa saat kemudian Nurjanu berteriak histeris, kontan saja teriakannya itu membuat Bujang Dultalip mendekat. Alangkah terkejutnya Dultalip ketika menyaksikan tubuh Nurjanu telah terbujur kaku. Putri yang sombong itu telah tewas. Dultalip pun lalu membawa mayat Nurjanu ke rumah Dayang Samak dan di kuburkan di sebuah tempat yang tak jauh dari rumah tersebut. Sejak saat itu tak seorang pun penduduk kampung kami berani mandi di Air Magnum sebab akan tewas seketika seperti nasib Nurjanu. Konon,dari kisah inilah racun Belantu jadi terkenal.
Merasa takut akan jatuh korban berikutnya semua penduduk kampung kami hijrah ke kampung tetangga. Kampung ini bernama Prepat sekitar lima kilometer dari Dudat. Kami membawa seluruh barang-barang, termasuk alat musik pengiring untuk becampak. Di tempat baru itu kami pun tetap melanjutkan kehidupan dengan mencari pekarangan untuk di buat pekasam. Kami juga tak lupa sesekali menghibur diri dengan menari campak setelah letih bekerja seharian. Namun setelah Nurjanu tiada setiap kali penduduk Prepat becampak dengan menggunakan alat musik dari Dudat, seringkali terlihat seorang putri cantik di tengah pertunjukkan ikut menyaksikan orang becampak. Penduduk menduga dia adalah arwah Nurjanu yang penasaran.
Pada suatu malam Dayang Samak mendapat mimpi bahwa untuk menenangkan arwah putrinya, gong besar pengiring musik campak harus dikuburkan tak jauh dari kuburan Nurjanu. Akhirnya setelah bermufakat dengan tetua kampung diaraklah gong besar itu dari Prepat ke Kelekak Aik Nangkak untuk di kuburkan berdampingan dengan makam Nurjanu.
Yah, begitulah sesungguhnya. Jelita kampung kami yang angkuh itu kini telah tiada karena kesombongannya sendiri. Memang setiap sore tak ada lagi yang duduk menjuntaikan kaki di rumahnya sekedar menebar pesonanya. Tapi semenjak itu pula aku bagian itu menjadi penting dalam ingatanku. Memang tak ada lagi lenggak-lenggoknya yang berbalut keangkuhan menghiasi tarian campak. Tapi semenjak itu pula lebih dari sebelumnya aku tak pernah absen menyaksikan pertunjukkan campak. Ini terdengar aneh mungkin. Tapi aku tak peduli. Setelah Nurjanu tiada, aku menyadari betapa aku mengaguminya  justru karena kesombongannya itu. Ini adalah sepotong dari serangkaian kisah hidupku yang nanti akan ku ceritakan pada keturunanku. 


Malam semakin kelam.  Aku perlahan terpejam. Mengacuhkan sepasang cicak yang sejak tadi dimabuk asmara. Hingga besok pagi kembali menjelang.
******
Beberapa tahun setelah gong tersebut di kuburkan,di atas kedua kuburan tersebut muncul masing-masing sebatang pohon nobong ( nibung ).Sejak saat itulah kuburan dan tempat gong tadi terkenal dengan sebutan Nibong Belegong,yang diinterpretasikan pohon nibung yang ada gongnya.

Menurut si empunya cerita hingga saat ini peralatan musik campak dari Dudat itu masih bisa dimainkan. Namun,kalau suara gong terdengar sember maka harus di bersihkan dengan air pekasam dari Dudat. Setelah itu gong itu pun akan berbunyi nyaring kembali. Malah suaranya akan terdengar makin nyaring jika malam semakin larut.

Menurut penduduk setempat saat ini di tempat Nibong Belegong tadi kadang sering terdengar suara gong lalu disusul dengan munculnya Putri Nurjanu yang sedang menari.

(Naskah ini ditulis ulang dengan sudut penceritaan masa kini oleh Apriani Yulianti )







Telaga Moyang Manis



Hijau dedaunan tampak menatap ragu. Dahan pohon melambai-lambai lesu tertiup angin. Tanah terlihat retak dan kering. Sumber-sumber mata air sepi dari jamahan penduduk, karena airnya kering kerontang. Tanpa disangka dan diduga musim kemarau kali ini datang lebih awal dari biasanya. Tak hanya itu musim kemarau ini terjadi sangat panjang.  Alhasil air di sungai, rawa-rawa, atau sumur menjadi lebih cepat kering.
Seluruh penduduk di Pulau Belitung kesulitan mendapatkan air. Tak terkecuali dengan penduduk di Kelekak Pancor. Satu-satunya sumber air yang tidak pernah kering hanya ada di antara dua bukit yang jaraknya lebih kurang 13-14 km dari tempat itu. Tempat itu bernama Selangan Libot (selangan = antara ; libot = dua bukit).
Meskipun jaraknya cukup jauh dari Kelekak Pancor penduduk tetap berbondong-bondong berjalan kaki ke Selangan Libot untuk mengambil air. Penduduk silih berganti menuju mata air itu, dari pagi buta hingga malam hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
*************
“Aku haus, aku haus ingin minum tapi tidak ada air” Manis berkata disela-sela tangisannya sambil meraung-raung.
 Tangisan Manis yang cukup keras terdengar oleh saudaranya Tuk Pancor. Tuk Pancor yang tengah berada di ladang segera berlari ke rumah untuk mengetahui apa yang tengah terjadi. Ketika tiba di rumah alangkah terkejutnya Tuk Pancor karena melihat Manis, saudaranya yang paling kecil tengah menangis kehausan di halaman depan rumah mereka. Tuk Pancor lalu mendekati Manis dan berusaha menenangkannya.
“Sabar Manis, tunggu lah sebentar lagi Nek Pancor pulang dari Selangan Libot mengambil air” dengan penuh kasih sayang Tuk Pancor membujuk Manis seraya mengelus-elus kepalanya.
“ Di mana-mana tidak ada air, aku ingin minum” jawab manis sambil terus menangis.
Meskipun Tuk Pancor sudah berusaha keras menenangkan Manis, tapi dia menangis semakin menjadi-jadi. Tuk Pancor tidak tega melihat Manis yang terus menangis karena lelah dan kehausan. Seketika itu pula, Tuk Pancor mengambil tempat air dan  bergegas menuju Selangan Libot untuk mengambil air.
Musim kemarau memang selalu hadir dengan berbagai suka citanya. Ada yang merasa kesusahan saat musim kemarau tiba, karena kesulitan mencari air. Di sisi lain ada yang merasa agak nyaman saat beraktifitas di luar rumah tanpa takut kehujanan. Apalagi sebagian besar penduduk Kelekak Pancor bekerja di ladang.
Cuaca yang panas di siang hari saat musim kemarau, memang membuat banyak orang beraktifitas di luar rumah. Orang-orang dewasa pergi untuk berladang atau melakukan pekerjaan rumah lainnya, sementara anak-anak menjadi semakin girang bermain di luar rumah. Kebanyakan anak-anak berkumpul bersama teman-temannya lalu bermain bersama-sama. Hari itu pun Manis pergi bermain bersama teman-temannya sejak pagi hari. Mereka bermain sangat asyik hingga tak menyadari matahari perlahan mulai meninggi dan bersinar semakin terik. Ketika semakin lelah, Manis pun merasa kehausan. Dia lantas pulang ke rumah dan langsung menuju tempayan tempat menyimpan air. Karena tak menemukan setitik air pun, dia terus mencari ke seluruh penjuru rumah untuk melepas dahaganya. Malangnya, Manis tidak menemukan air di rumahnya. Akan tetapi Manis tak kehabisan akal, dia lalu menuju rumah tetangganya untuk meminta air. Hingga lelah mencari Manis tak kunjung menemukan air. Rasa lelah dan haus yang semakin menjadi-jadi membuatnya menangis meraung-raung.
Sepeninggalan Tuk Pancor yang pergi menuju Selangan Libot, Manis terus menangis dan meratap kehausan. Cuaca pun semakin panas karena hari semakin siang. Matahari telah mencapai ketinggian maksimal di singgasananya. Di tengah gumpalan awan-awan putih yang berarak matahari semakin ganas memuntahkan panasnya ke bumi. Manis terus menangis sambil menghentak-hentakan kakinya ke tanah. Semakin haus semakin bertambah keras pula hentakan kakinya ke tanah.
Sementara itu Tuk Pancor berjalan tergesa-gesa dan setengah berlari sambil membawa tempat air. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Rasa lelah sudah pasti dirasakannya. Akan tetapi karena teringat Manis yang tengah kehausan menunggunya, semua kelelahannya seakan tak berarti apa-apa. Saat itu yang ada di benaknya hanyalah satu hal, yaitu sesegera mungkin tiba di Selangan Libot mengambil air untuk Manis dan kembali ke rumah. Di tengah perjalanan Tuk Pancor beberapa kali berpapasan dengan penduduk yang juga mengambil air dari Selangan Libot.
Di halaman depan rumah mereka, Manis terus menangis sembari menanti Tuk Pancor yang pergi mengambil air untuknya. Saat itu rasa hausnya sudah tak tertahankan lagi dan kian memuncak. Tanpa sadar dengan hentakan kakinya Manis telah mengerok tanah semakin dalam. Saat itu juga Manis meratap sambil tangannya menunjuk ke arah tanah tempat dia menghentakkan kakinya,
“apakah saya masih diberi kesempatan untuk hidup, maka keluarkanlah air dari tempat ini” . 
Dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, serta merta terjadilah keajaiban. Pada saat itu juga keluarlah air yang jernih dari tempat itu. Manis bersorak kegirangan dan minum sepuasnya.
Setelah tempat air yang dibawanya terisi penuh, Tuk Pancor segera bergegas kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin menemui Manis dan memberikan air yang dibawanya.  Sepanjang perjalanan Tuk Pancor tersenyum membayangkan wajah Manis yang kegirangan karena akhirnya mendapatkan air. Segala rasa lelah sepanjang perjalanan seakan terbayar dengan hal itu. 
Air dari dalam tanah itu memancar semakin deras. Manis semakin kegirangan dan terus minum hingga hausnya tak terasa lagi. Dari kejauhan terlihat Tuk Pancor terengah-tengah karena berlari mengambil air untuk Manis. Dia tidak tega melihat saudaranya tersiksa kehausan, karena ketika ditinggalkannya tadi Manis sudah sangat letih. Namun ketika sudah dekat dengan rumahnya Tuk Pancor tidak lagi mendengar suara tangisan Manis. Saat semakin dekat dengan rumahnya, Tuk Pancor semakin terheran-heran karena Manis tidak lagi menangis. Manis terlihat segar bugar dan telah bermain dengan riangnya, tidak terpancar sedikitpun keletihan di wajahnya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi ternyata Manis bermain dengan air.
Menyaksikan hal tersebut Tuk Pancor segera menghampiri Manis. Tuk Pancor segera menanyakan bagaimana cara Manis mendapatkan air serta berusaha melarang Manis bermain air karena saat itu air sulit di dapat.
“Manis bagaimana kamu bisa mendapatkan air? Bukankah tadi kau menangis karena kehausan? Lantas jangan kau buang-buang begitu saja air ini, karena saat ini kita semua tengah kesulitan untuk mendapatkan air”  Tuk Pancor bertanya dengan masih diliputi rasa heran.
“Air ini dari dalam tanah” jawab Manis dengan polos.
Manis semakin girang dan terus bermain dengan air itu. Sementara Tuk Pancor semakin bingung dan heran mendengar jawaban Manis. Maka dia pun kembali bertanya kepada Manis.
“Manis sayang, bisakah kau ceritakan bagaimana air ini bisa muncul dari dalam tanah?”
“Tadi sambil menangis aku menghentak-hentakkan kakiku ke tanah, semakin lama semakin keras kuhentakkan kakiku karena semakin lelah dan haus aku berdoa meminta air dari dalam sini”
Manis menjawab seraya menunjuk ke tanah yang saat ini memancarkan air.
Mendengar jawaban Manis, Tuk Pancor pun merasa lega bercampur heran. Semakin lama, sumber air itu semakin memancarkan air dengan deras.
Sejak saat itu penduduk di Kelekak Pancor tidak lagi kesulitan menempuh jarak jauh untuk mendapatkan air. Mereka merasa senang karena kebutuhan sehari-harinya terpenuhi.
Hingga saat ini sumur tersebut dikenal dengan nama Telaga Moyang Manis. Sumur itu merupakan tanah cekung bekas galian yang besar, garis tengahnya kira-kira dua meter dan dalamnya kira-kira enam puluh sentimeter. Letaknya tidak jauh dari Sungai Pancor atau sungai tempat Tuk Pancor mendarat untuk pertama kali di daerah itu.  

(Naskah ini ditulis ulang dengan sudut penceritaan masa kini oleh Apriani Yulianti )




Kamis, 12 Januari 2012

menemukan Larutan Senja lantas "berkenalan" dengan Ratih Kumala


Beberapa saat yang lalu di suatu sore saya menyempatkan diri  berkeliling di salah satu pusat perbelanjaan. Tentu saja saya tidak sendirian, tetapi ditemani oleh “seorang dekat yang bukan sahabat apalagi sekedar kerabat”. Secara tak sengaja pula atau lebih tepatnya tanpa direncanakan sebelumnya, kami mampir ke salah satu toko buku terbesar di kota ini yang kebetulan letaknya berseberangan dengan pusat perbelanjaan tersebut.  Beruntungnya lagi ketika itu menjelang akhir tahun dan tentu saja saatnya pesta diskon besar-besaran di sana-sini, tak terkecuali di toko buku tersebut.
Akhirnya....tentu saja kami mampir ke toko buku tersebut, seperti biasa tak ada rencana khusus untuk membeli buku tertentu sekedar melihat-lihat lalu jika ada yang cocok dan tertarik barulah membeli..hehe...
Di tengah-tengah buku-buku diskon yang tersusun rapi di sana-sini dan  orang-orang yang sibuk ingin membeli atau memang niat awalnya hanya sekedar ingin melihat-lihat (selayaknya saya...he). mata saya tiba-tiba tertarik dengan salah satu buku lalu mengambilnya....buku itu berjudul Larutan Senja yang merupakan antologi cerpen karya Ratih Kumala. Berikut adalah cover buku tersebut :






Di bagian belakang buku terdapat kutipan yang diutarakan oleh Triyanto Triwikromo (pencerita dan redaktur sastra), kutipannya adalah sebagai berikut : “membaca cerita-cerita Ratih Kumala, kita seperti bertamasya tak henti-henti dengan kaki pincang. Kita tak akan sampai-sampai ke pusat makna. Begitu banyak labirin yang harus dilalui......” .
Jika boleh jujur sebetulnya dengan membaca kutipan tersebut, ditambah membaca sekilas cerpen di awal buku tersebut dan ketidaktahuan saya dengan seorang Ratih Kumala, maka saya pun akhirnya membeli buku tersebut.
Setelah selesai membaca ke semua cerpen yang terdapat dalam buku tersebut dalam beberapa kali duduk  (karena ada yang mengartikan cerpen adalah cerita yang selesai dibaca sekali duduk)...he..
Saya merasa jatuh cinta dengan cerita-cerita Ratih Kumala itu. Cerpennya santai, mengalir, terasa dekat dengan realitas kehidupan kita, tak terlalu banyak memakai metafora (yang oleh penulis lain sering digunakan sebagai salah satu unsur mempercantik tulisannya), namun meskipun tak banyak menggunakan metafor cerpennya tetap indah dengan caranya tersendiri, tetap agak sulit untuk dipahami begitu saja (ini yang selalu saya suka, maksud saya mungkin terkesan agak-agak “absurd”).
Lantas saya langsung googling di Internet mencari tahu tentang Ratih Kumala, ternyata saya menemukan blog miliknya, kemudian akun facebook-nya (tapi sayang sekali sudah tidak bisa di add, karena temannya sudah terlalu banyak).  Belakangan jejaring sosial semacam facebook memang membuat kita semakin dekat saja dengan para idola, entah penyanyi pujaan, penulis favorit atau mungkin anggota boyband idaman...he. Dan sekarang ini setelah kagum dengan salah satu dari mereka, kita akan dengan mudah menemukan mereka di jejaring sosial, lantas berteman, dan kemudian berinteraksi dalam kapasitas tertentu.
Balik lagi ke Ratih Kumala, waahhh...ternyata dia memang penulis hebat (sayang sekali saya baru mengenalnya sekarang) cerpennya ternyata beberapa kali dimuat di majalah atau surat kabar ternama, tulisannya sudah beberapa kali diperbincangkan dalam forum-forum diskusi sastra berkelas, dan sekarang dia bekerja di salah satu stasiun televisi swasta tanah air.
Sebetulnya ada banyak penulis-penulis hebat di Indonesia yang saya kagumi, selain Ratih Kumala. Karya-karya mereka mampu membuat saya “jatuh cinta pada pandangan pertama”...hehe. tentu saja dengan mengagumi akan timbul motivasi dalam diri kita secara tidak langsung. Semoga saja saya, anda, dan kalian semua mampu semakin memperkaya dunia tulis-menulis di Indonesia...^^
Semoga tulisan ini bermanfaat....^_^