Sabtu, 06 Oktober 2012

Lara



Jarak selalu mengubah segalanya, termasuk mengubah aku dan kamu
Jeda selalu membayangi menjadi kian menakutkan bagiku
Tak kan ada yang mampu menerjemahkan rasa ini
Tidak juga malam apalagi siang
Saat sepi kian meradang
Kala sendiri menghampiri
Semuanya kian membuncah menoreh lara

Kamis, 09 Agustus 2012

KKN (Kebersamaan Kita ‘Never Ending’)


KKN adalah tiga huruf mujarab yang mempertemukan kita semua.
Kita yang sebelumnya mungkin sebagian tak saling mengenal satu sama lain.
Kita yang sebelumnya tak saling menyangka akan bekerjasama dalam satu kelompok.
Kita yang sebelumnya tak pernah mengira akan bertemu sembilan orang keluarga baru yang luar biasa. Hehehe.....
Oke, sebelum jari-jari saya menari lincah lebih jauh lagi untuk menulis tulisan iseng dan mungkin ‘agak gak penting ini’, saya mohon maaf karena sudah lancang dan mungkin lagi terkesan agak lebay dengan menulis tulisan ini... hehe. Sebetulnya ini tak lebih dari salah satu kebiasaan saya untuk menuangkan pengalaman-pengalaman yang saya anggap berharga dan menarik dalam hidup saya ke dalam sebuah bentuk yang berwujud, seperti sebuah tulisan. Setidaknya suatu saat nanti tulisan ini akan menjadi rekam jejak yang bisa membuat saya kembali mengingat setiap pengalaman itu diwarnai beragam ekspresi. Hehe....
Heemmm... baiklah, rasanya masih terekam jelas dalam ingatan betapa ribetnya sistem pendaftaran KKN dulu. Mulai dari kesimpangsiuran info di sana sini, perbaikan sistem pendaftaran yang terkesan lamban dan berbagai mitos yang beredar dari mulut ke mulut. Hal ini tentu saja tidak akan menjadi seribet itu, jika KKN adalah sebuah matakuliah yang pelaksanaannya sama seperti matakuliah lainnya, cukup dengan perkuliahan tatap muka di kelas bersama teman-teman sekelas. Tapi KKN akan kita lewati dengan sembilan orang teman baru dari berbagai jurusan, KKN akan kita lewati dengan bekerja sama dengan teman-teman baru yang sebagian besar mungkin belum kita kenal.
Beberapa waktu berselang akhirnya kesimpangsiuran itu berakhir, kita pun kemudian tahu siapa saja sembilan orang lainnya yang akan berada dalam kelompok yang sama dengan kita. Beruntunglah saat ini dengan kecanggihan teknologi yang ada proses ‘perkenalan’ di antara kita menjadi lebih mudah dan gampang. Dari mulai alat komunikasi berupa handphone hingga berbagai jejaring sosial di dunia maya terasa sangat berjasa dalam proses ‘perkenalan KKN sebelum kita bertatap muka secara langsung.  Jujur saja saat pertama kali kita sepakat untuk ‘kopdar’ di partere, ketika tengah sibuk sms dan mencari-cari teman-teman yang lain, sempat terlintas dalam pikiran saya bagaimana jika ‘kopdar’ KKN semacam ini dilakukan di saat belum adanya handphone. Tentu saja akan sangat sulit mencari teman yang sebelumnya belum pernah kita temui secara langsung di sebuah tempat yang lumayan luas... hehe..
Selain itu sebelum kita akhirnya bertemu, di dalam benak saya berseliweran berbagai pertanyaan yang berujung pada kekhawatiran dan sedikit rasa penasaran yang menggelitik. “Seperti apa yah teman-teman KKN saya ini?” mungkin kurang lebih seperti itulah salah satu pertanyaan tersebut...hehe
Dan Alhamdulillah setelah beberapa saat mencari ke sana kemari kita berhasil bertemu. Awalnya tentu saja suasana masih terkesan agak kaku, namun itu tak berlangsung lama karena akhirnya pembicaraan kita saat itu bisa berlangsung santai dan kian akrab..hehe...
Dan hari ini tanpa terasa KKN akan segera berakhir, empat puluh hari yang panjang itu akan segera tergenapi kurang lebih empat hari lagi. Mungkin banyak hal yang telah kita dapatkan selama kebersamaaan singkat ini, kita bukan hanya mempelajari empat divisi inti dalam tema MBS. Tapi lebih dari itu kita belajar memahami satu sama lain, kita belajar menghargai pendapat yang bertolak belakang dengan pemikiran kita, kita belajar berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang baru, kita belajar menerima keputusan yang tak sejalan dengan keinginan kita, kita belajar bersabar dan mengalah dalam kesempatan tertentu, kita belajar mempelajari banyak hal-hal kecil tak terduga..hehe....
Bahagia mengenal kalian semua, bahagia berkesempatan bekerja sama dan dipertemukan dengan kalian semua. Karena tanpa KKN yang ‘sensasional’ ini kita mungkin hanya sepuluh mahasiswa UPI angkatan 2009 dari jurusan berbeda-beda yang tak akan saling mengenal.. hehe... maaf jika selama kebersamaan singkat ini ada banyak kesalahan yang telah saya lakukan baik disengaja maupun tidak disengaja.. mohon maaf lahir batin teman-teman..^__^
Meskipun sudah capek dan sedikit jenuh di akhir-akhir masa KKN ini tapi tak bisa dimungkiri suatu saat nanti akan ada saat-saat kita merindukan masa-masa ini.  Merindukan suasana hari-hari selama sebulan yang lalu, naik turun angkot menuju Sukabungah. Merindukan suasana angkot Cimindi-Sederhana yang selalu penuh sesak ibu-ibu dan barang belanjaannya dari pasar. Merindukan jajanan di SD yang murah, meriah, dan menggoda. Oh...dan tentu saja merindukan kalian semuahhh. Dan pada hakikatnya tak kan pernah lupa kronologis KKN, mulai dari awal pendaftaran, perkenalan, survei lokasi, serta kegiatan bersama yang mengurai emosi jiwa bercampur derai tawa...  indah karena penuh warna.... hehe
Semoga berakhirnya KKN nanti tidak menjadikan tali silaturahmi antara kita bersepuluh ikut berakhir......  

Jumat, 20 Juli 2012

Putri Pinang Gading


Pada zaman dahulu kala hiduplah sepasang suami istri yang hidup rukun dan damai. Akan tetapi sudah cukup lama mereka menikah dan belum dikaruniai seorang anak. Suatu hari ketika sang suami pergi ke hutan dia menemukan sebatang bambu aneh. Karena penasaran bambu tersebut dibawanya pulang ke rumah. Singkat cerita bambu tersebut digunakan oleh sang istri menindih tikar untuk menjemur padi. Beberapa saat kemudian terdengar suara letusan dari halaman rumah mereka. Ternyata suara tersebut berasal dari bambu yang meletus, dari kejauhan tampak cahaya berkilauan dari arah bambu yang kini telah terbelah dua itu. Yang lebih mengejutkan ternyata ada seorang bayi mungil yang berada di antara kedua bambu yang terbelah tersebut.
Semenjak kejadian tersebut kehidupan suami istri itupun menjadi semakin bahagia. Dengan sepenuh hati mereka mencurahkan kasih sayang kepada putri nya yang diberi nama Pinang Gading. Hari berganti hari dan bulanpun menahun, Pinang Gading telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik jelita. Pinang Gading juga dikenal pemberani dan sangat mahir memanah. Kemahirannya dalam memanah sudah terkenal ke seluruh desa. Suatu ketika terdengar sebuah kabar malapetaka dari desa tetangga. Penduduk desa tersebut ketakutan karena serangan dari seekor burung garuda raksasa yang sering mengganggu mereka. Mendengar berita tersebut Pinang Gading yang pemberani berniat pergi ke desa itu dan bertarung melawan burung tersebut. Akhirnya pada hari yang telah ditentukan, Pinang Gading berangkat dengan berbekal panah beracun yang dimilikinya.
Suasana yang sepi dan mencekam menyambut kedatangannya di desa tersebut. Beberapa saat kemudian sebagian penduduk nampak berlari ketakutan mencari perlindungan. Terdengar suara burung Garuda yang menggelegar dari kejauhan. Pinang Gading bersiap-siap membidikkan anak panahnya ke arah burung raksasa itu.  Seketika itupula bidikannya tepat mengenai dada burung Garuda,  lantas sang burung jatuh ke tanah dengan darah segar yang mengucur dari dadanya. Alangkah terkejutnya Pinang Gading karena tiba-tiba burung Garuda tersebut perlahan berubah menjadi sesosok pria paruh baya. Seluruh warga desa yang sedari tadi bersembunyi lalu ikut mendekat melihat peristiwa aneh itu. Di tengah kesakitannya burung yang kini telah berubah menjadi manusia itu memanggil-manggil nama Pinang Gading. Pinang Gading pun berlari menghambur dan memeluk pria tersebut setelah menyadari bahwa sosok yang kini tengah kesakitan itu adalah ayahnya.  Sambil menangis tersedu-sedu Pinang Gading menanyakan kepada ayahnya apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan terbata-bata ayahnya menceritakan bahwa kutukan burung Garuda adalah akibat dari perjanjiannya dengan dewata. Belasan tahun yang lalu dia memohon kepada dewata agar dikaruniai seorang anak meski dengan  syarat apapun. Akhirnya dewata mengabulkan permintaannya dengan memberikan Pinang Gading pada sebatang bambu. Akan tetapi sebagai akibatnya dia harus menjadi burung Garuda raksasa yang selalu mengganggu warga desa. 

*sinopsis dari cerita asli yang telah diubah pada beberapa bagian untuk arahan pada pementasan drama musikal.


Selasa, 26 Juni 2012

Virus “Kamseupay” Kian Melanda



Saat ini beragam fenomena kebahasaan kian marak di kalangan masyarakat luas. Bermacam-macam ungkapan baru seakan menjadi sebuah trendsetter baik dalam ranah penggunaan lisan maupun tulisan. Salah satu dari sekian banyak ungkapan tersebut adalah kata “kamseupay”. Kata “kamseupay” sebenarnya sudah pernah hadir dan ngetrend pada era akhir tahun 1970-an sampai dengan tahun 1980-an. Saat ini “kamseupay” kembali menjadi sebuah trend yang sering diucapkan berbagai kalangan. Kehadiran kembali kata “kamseupay” tak lepas dari peran seorang aktris sekaligus politikus, yakni Marissa Haque. Marissa menyelipkan kata “kamseupay” tersebut dalam salah satu tulisan di blog nya saat terlibat perseteruan dengan seseorang yang bernama Dee Kartika. Selain di blog pribadinya tersebut, ternyata Marissa juga sempat beberapa kali menggunakan kata “kamseupay” di akun twitter miliknya. Ibarat jamur di musim hujan, maka setelah itu kata “kamseupay” kembali lahir menjadi sebuah trend baru.
Dewasa ini seiring perkembangan teknologi, maka bermunculan lah berbagai media jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Terkait dengan trend fenomena kebahasaan semacam kata “kamseupay”, maka jejaring sosial tentu saja memegang peranan penting. Tidak bisa dimungkiri eksistensi hubungan antara keduanya saling memengaruhi satu sama lain. Kata “kamseupay” lahir kembali di jejaring sosial dan menjadi trend masa kini. Sementara itu, secara tidak langsung jejaring sosial kian populer karena kehadirannya mampu menjadi wadah bagi munculnya berbagai fenomena kebahasaan seperti kata “kamseupay”.
Meskipun sudah menjadi sebuah trend, tetapi tidak sedikit orang yang bertanya-tanya pengertian kata “kamseupay” itu sendiri. Misalnya saja, saya mengambil sampel seorang remaja putri kelas X SMP yang menggunakan kata “kamseupay” dalam akun facebook miliknya. Remaja tersebut menuliskan status “Iwhh Kamseupay banget tuh orang, bikin kesel aja”. Dia  mungkin saja pada dasarnya tidak betul-betul memahami pengertian “kamseupay”. Dia hanya melakukan proses imitasi dari sebuah trend yang sering didengarnya saat ini.
Berbagai sumber menyimpulkan Kata “kamseupay” adalah sebuah akronim yang memiliki arti  kampungan sekali uuh payah’ atau ‘kampungan sekali udik payah. Selain itu dalam kamus bahasa slang indonesia, pengertian kata “kamseupay” juga merujuk kepada dua pengertian di atas. Sebagai sebuah gejala baru dalam fenomena kebahasaan di masyarakat, kata “kamseupay” sangatlah menarik jika dikaji dari sudut pandang pragmatik kebahasaan.
Pragmatik adalah salah satu cabang ilmu dalam studi linguistik Terdapat berbagai pengertian pragmatik menurut para pakar. Namun berdasarkan berbagai pengertian tersebut, bisa disimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bahasa beserta acuan atau rujukannya.  Pada dasarnya ilmu pragmatik lebih banyak berhubungan dengan analisis makna  dari apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya, daripada dengan kaidah struktural dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan tersebut. Lebih singkatnya bisa dikatakan bahwa sudut pandang pragmatik lebih bersifat praktis. Oleh karena itulah kemunculan berbagai fenomena kebahasaan semacam kata “kamseupay” yang kembali populer saat ini, bisa di analisis secara pragmatik. Ada berbagai teori-teori pragmatik yang menjadi alat analisis dalam sebuah tindak tutur.
Salah seorang pemikir pragmatik yang bernama Austin, mencetuskan teori mengenai tindak tutur yang memang memegang peranan penting dalam kajian pragmatik. Oleh Austin, tindak tutur yang jumlahnya tidak terbatas dikategorikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima, yaitu : Asertif (terikat dengan apa yang dikatakan dalam tuturan), Evaluatif (tuturan yang penuturnya melakukan penilaian terhadap objek yang dituturkannya), direktif (tuturan yang isinya arahan atau petunjuk), ekspresif (tuturan yang menunjukkan suasana atau keadaan penutur), deklaratif (tuturan yang memberitakan).
Berdasarkan kelima kategori tindak tutur di atas, kata “kamseupay” yang memiliki arti ‘kampungan sekali uuh payah’ atau ‘kampungan sekali udik payah jelaslah kiranya tergolong ke dalam kategori tindak tutur ekspresif. Tindak tutur ekspresif merupakan tuturan yang menunjukkan suasana atau keadaan penutur, suasana atau keadaan yang dimaksudkan ini cenderung kepada perasaan penutur. Seperti contoh seorang remaja putri di atas yang menggunakan kata “kamseupay” dalam akun facebook miliknya. Kata “kamseupay” yang digunakannya dirangkai dalam sebuah kalimat yang menyatakan kekesalannya terhadap seseorang. Perasaan kesal yang sedang dirasakannya, akan menjadi pemicu baginya untuk meluapkan kekesalannya dengan menuturkan kata “kamseupay”.
Jika dikaitkan dengan hakikat manusia sebagai mahkluk sosial, tindak tutur ekspresif adalah sesuatu yang lazim terjadi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebagai mahkluk sosial manusia dalam kesehariannya selalu melakukan interaksi dengan sesamanya. Dalam peristiwa interaksi tentu terjadi proses komunikasi. Kemudian proses komunikasi menghasilkan berbagai tindak tutur beragam sesuai dengan konteks yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa tutur tersebut.

Oleh : Apriani Yulianti



Jumat, 25 Mei 2012

yang Pergi dan Kembali Pergi


“Tik..tik...tik”
Malam ini hujan lagi-lagi menyapa, tiap tetesnya seakan membersihkan debu-debu jalanan yang menempel di aspal sejak tadi siang. Hawa dingin kian terasa membalut atmosfer kehidupan dengan penuh gairah nakal.
Aku pun ikut menggigil bersama suara halilintar yang menyambar-nyambar di luar sana. Dinding-dinding papan yang sebagian sudah koyak ini, tentu saja tak mampu memberi kehangatan bagi tubuh ku. Di malam-malam seperti ini rasa itu kembali beranak-pinak menyesaki hatiku. Rasa itu begitu perih dan perlahan sudah mulai menghambar di dadaku. Terlampau lama bersarang dan meninggalkan semburat luka yang mendalam. Lantas aku pun hanya mampu terdiam dalam malam pekat berbalut kehampaan.
Ibu sudah sering menasihatiku dalam ketuaannya. Tubuh ringkih nya tergoncang-goncang karena batuk yang tak kunjung sembuh, tapi dia tak pernah bosan apalagi putus asa mengingatkanku. Aku bahkan sudah hafal setiap rangkaian kata yang akan keluar dari mulut keriputnya setiap kali itu terjadi.
Aku memang anak semata wayang, dan semenjak ayah meninggal tujuh tahun yang lalu, aku tinggal berdua bersama ibu di rumah sederhana kami ini. Aku memang tak sempat mengenyam bangku kuliah hingga ke pulau Jawa seperti sebagian teman-teman SMA ku, tapi aku mampu mandiri menghidupi ibu dan diriku sendiri dengan bekerja menambang timah seperti layaknya lelaki lain di Pulau Belitung ini. Aku bukanlah anak yang tak terlalu pandai di sekolah dulu, tapi sebuah faktor sentimentil serupa masalah keuanganlah yang menyebabkan aku tidak melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Jadi lah aku seperti sekarang ini, menjalani putaran waktu kehidupan di kampung kecil ini, menambang kekayaan alam yang entah sampai kapan mampu menopang pundi-pundi perekonomian sebagian besar penduduk di sini.  
***
Siang itu mendung masih menggelayut seperti sore tadi. Dengan tergesa-gesa aku bergegas pulang ke rumah setelah lelah seharian ngelimbang. Setelah keluar hutan dan bertemu jalan aspal aku terus memacu sepeda motor kesayangan ku ini. Sebentar lagi hujan akan turun pikirku. Jalanan tampak lengang, walaupun biasanya memang tak selalu ramai. Maklumlah ini adalah jalan menuju sebuah pantai, persawahan, daerah transmigrasi, dan tentunya beberapa lokasi penambangan timah. Oleh karena itu, tentu saja tak begitu ramai dilalui masyarakat yang hilir mudik.
Angin berhembus merdu menerpa wajahku yang hitam legam. Sementara itu ilalang di kiri kanan jalan tampak bergoyang-goyang begitu gemulainya. Aku terus berkendara sambil menggendong ransel bututku yang setia menemani sejak SMA dulu, kini isinya bukan lagi buku-buku pelajaran tentunya, tapi  bekal yang selalu disiapkan ibu untuk mengganjal perutku saat ngelimbang. Beberapa saat kemudian aku sudah melewati beberapa rumah warga yang jaraknya cukup berjauhan satu sama lain. Belakangan beberapa orang memutuskan untuk membangun rumah di sekitar jalanan ini. Tak hanya rumah-rumah warga, tapi beberapa toko kecil dan bangunan-bangunan semi permanen yang sekarang menjamur di sini. Bangunan semi permanen itu bukan bangunan biasa, pasalnya bangunan itu adalah semacam warung minuman dengan pekerja wanita yang di datangkan pemiliknya dari luar pulau. Sebagian pekerja itu berasal dari Palembang dan sebagian besar lainnya dari Jawa Barat. Keuntungan akan semakin besar jika pekerja-pekerja itu dari luar pulau, orang akan semakin banyak berkunjung begitulah menurut pemiliknya.
Di saat tengah asyik berkendara, tiba-tiba saja mataku menangkap sesosok yang tengah berbincang bersama seorang pria paruh baya di depan salah satu warung minuman. Sosok itu mengenakan t-shirt abu-abu muda bermotif bunga-bunga merah yang dipadu dengan celana jins selutut. Dari samping aku dapat melihat jelas matanya yang bulat bersinar, alisnya yang hitam lebat, rambutnya yang dikuncir ke belakang dan dibiarkan jatuh sedikit di bagian dahinya, serta senyumnya yang membuat bibirnya mengembang penuh pesona. Seketika tubuhku bergetar hebat, peluh yang memang sejak tadi bercucuran membasahi baju lusuhku kian banyak berjatuhan lantas mengalir membasahi wajahku. Sosok itu seakan kembali menguapkan luka lama beberapa tahun silam itu.
***
 “Ayolah Euis, jika kau menginginkan kehidupan yang layak, lebih baik ikut teteh saja bekerja di sana. Kau hanya tinggal mengandalkan kepiawaian mu sebagai seorang wanita yang merupakan perayu ulung, maka uang akan mengalir dengan sendirinya. Apalagi yang kau khawatirkan, di sana ada banyak teman sekampung kita yang juga bekerja seperti teteh”
Kalimat demi kalimat itu selalu terngiang memenuhi rongga otakku sejak petang itu di serambi warung Bi Neneng.
Setelah kurang lebih dua tahun bekerja di sana, Teh Ayu bisa rutin mengirim uang ke rumah setiap bulan nya. Menurut perkiraan ku jumlah uang bulanan itu cukup banyak, sehingga kini kedua orang tuanya telah berhenti bekerja menggarap sawah milik seorang juragan besar. Tak hanya itu saja, Teh Ayu, Diana, Rima, dan yang lainnya yang bekerja di sana setiap pulang kampung selalu fasih berkelakar mengenai perjalanan mereka ke sana yang harus ditempuh dengan jalur udara itu. Mereka selalu berceloteh asyik seakan-akan bekerja di sana betul-betul menjanjikan. Aku pun hanya mengangguk-angguk pelan sambil sesekali tersenyum kecil menimpali cerita-cerita mereka itu.
Seminggu setelah pertemuan di warung Bi Neneng itu, aku akhirnya memutuskan untuk ikut Teh Ayu yang akan kembali ke tempat kerjanya itu. Aku memutuskan untuk bekerja di sana. Sepanjang perjalanan itu, aku hanya diam menahan perasaan sedih yang menggenang di sanubariku. Aku sedih karena harus berpisah dengan ibu dan kedua anakku, tapi aku juga bingung karena tak mampu membayangkan pekerjaan baru yang akan aku geluti nanti.
Dan ternyata cerita teman-teman sekampungku itu tak keliru walaupun tak sepenuhnya benar. Tanpa terasa waktu terus melesat bagai desingan peluru. Sudah setengah tahun aku di sini, terlempar jauh dari kampung halaman ku di Pulau Jawa sana, bahkan bermimpi pun aku tak pernah bahwa akan mendapati diriku yang sekarang bekerja di bagian kecil Pulau Sumatra ini. Setiap hari rupiah demi rupiah kudapatkan dari tangan-tangan nakal yang legam dan bau apek itu. Menemani ngobrol dalam peliknya masalah anak istri yang menjadi tanggung jawab, membantu melepas penat, dan menguraikan sebuah kebersamaan yang ganjil. Sejauh ini  semuanya baik-baik saja bagiku, lambat laun tanpa ku sadari aku mulai menikmati pekerjaan ini. Tak peduli seperti apa sorotan negatif dari orang-orang pribumi di kampung ini terhadapku. Terlebih lagi ibu-ibu paruh baya, ibu-ibu muda, ibu-ibu dari ibu-ibu mereka yang selau memandang kami dengan tatapan sinis. Bagiku ini hanyalah masalah posisi saja, mereka tak sedang berada di posisiku dan aku tak di tengah posisi mereka.  
Mereka boleh saja mengeluhkan suaminya yang jarang pulang ke rumah, mereka sah-sah saja mengomel karena uang belanja yang tersendat-sendat, mereka lumrah saja menangisi perangai suaminya yang berdampak buruk bagi anak-anak mereka, tapi bolehkah aku mengungkapkan sedikit saja. Bolehkah aku berkoar juga atas cobaan bertubi-tubi yang menimpaku bahkan sejak masih dalam gendongan ibuku. Aku memang tak pernah tahu seperti apa figur seorang ayah, sejak aku dilahirkan yang kukenal hanyalah ibu. Aku tak pernah mau mencari tahu sebab musabab hal tersebut. Aku tumbuh seperti kebanyakan gadis lain di kampung. Aku memang sempat mengenyam pendidikan, tapi itupun hanya sampai lulus SD saja. Setelah itu aku sebagai putri satu-satunya harus membantu ibu bekerja apa saja guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jika boleh jujur semua itu memang aku lakukan dengan terpaksa, keterpaksaan karena waktu bermainku harus terbagi dengan pekerjaanku membantu ibu. Lantas masa remaja pun datang, masa yang kata orang-orang adalah masa yang indah. Menginjak usia 15 tahun aku menikah dengan seorang pemuda kampung tetangga yang lima tahun terpaut usia dari ku. Ibu tentu saja memberi restu, tanpa perlu berpikir panjang ketika ada seorang pemuda yang melamar putri semata wayangnya yang hanya tamatan SD ini. Maka hari-hari yang indah pun menyambut masa-masa awal pernikahan kami. Bahkan tak perlu berselang lama aku telah melahirkan dua orang anak dari rahim ini. Hidup memang tak selamanya indah, meskipun bagiku memang tak pernah indah. Suamiku sekaligus ayah dari anak-anakku berselingkuh dengan seorang janda kaya dari kecamatan. Hanya karena janda sialan itulah ‘mantan’ suamiku itu tega menjatuhkan talak kepadaku lantas pergi selamanya tanpa mau tahu betapa kejamnya kenyataan hidup yang harus aku hadapi bersama kedua buah hati kecilku. Kedua buah hati ku itulah yang menjadi sumber kekuatanku untuk tetap bertahan bekerja di sini. Kini ibu sesekali memberi kabar dari rumah, mengabarkan si sulung yang semakin rajin belajar dan adiknya yang telah mampu berceloteh satu dua patah kata. Sungguh bahagia sekali hatiku mendengar semua itu, meskipun sesungguhnya aku merasakan kekosongan yang teramat sangat membuncah di jiwaku. Aku pun tak pernah paham apakah gerangan itu.
Sejatinya aku memang hanya lah perempuan biasa yang jauh dari kesan istimewa. Tak ada yang patut aku bangga kan dalam diriku, sekolah saja hanya sampai SD. Dalam usia yang belia bahkan sudah menjadi janda dengan dua orang anak. Di saat tengah sendiri aku selalu berpikir mengapa hidup ini harus selalu merasakan kekecewaan dari seorang mahkluk bernama laki-laki. Diawali oleh  ibuku yang tak pernah dinikahi secara resmi oleh lelaki yang menanam benih di rahimnya. Ternyata takdir itu masih melekat pada diriku, ku kira dengan memutuskan menikah aku akan merasakan kebahagiaan dari lelaki yang dulu ku cintai itu. Tapi ketulusan yang dulu aku lihat jelas di matanya, tak lebih dari sebuah kepalsuan semata. Perih sekali...
Kita memang tidak akan pernah tahu episode kehidupan seperti apa yang akan menghampiri. Meskipun terkadang kita selalu ingin menduga-duga. Apakah aku salah jika kini bekerja di sini? Apakah aku perusak rumah tangga orang? Apakah aku perampas kebahagiaan orang lain? Segalanya menjadi berbeda setelah aku mengenal dia, termasuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Selama berada di sini aku telah banyak bertemu dan mengenal lelaki pribumi kampung ini. Dari mulai para sopir truk pengangkut pasir, sopir truk pengangkut batu, para pemuda pengangguran, para bujang-bujang yang baru beranjak dewasa, para penambang timah kecil-kecilan, hingga bos besar yang merupakan pengumpul timah dari penambang kecil itu. Mereka membaur jadi satu di sini, tak ada yang peduli dengan status sosial, asal minum tidak ngutang bukan perkara. Tapi dia sungguh berbeda dari lelaki lainnya, sejak pertama kali bertemu aku telah memutuskan bahwa dialah lelaki melayu paling tulus sejagad raya. Jangan bandingkan dia dengan Parman si sopir truk itu, Parman jelas-jelas berbeda. Apalagi dibandingkan dengan Wandi bos besar timah yang jelas-jelas hobi menebar rayuan murahan tanpa sadar umur.
Telah seminggu sejak pertama kali kami berjumpa. Aku benar-benar merasa seperti gadis kembali, aku terkadang lupa jika statusku adalah janda dengan dua orang anak. Aku benar-benar merasakan hal yang berbeda jika berada di dekatnya. Mungkin sekarang adalah masa-masa remaja yang dulu telah kulewatkan dari episode kehidupan ini. Dia benar-benar membuatku mampu mengartikan betapa indahnya mencintai dan dicintai dengan tulus.

***
Sayup-sayup di beranda depan kudengar lantunan merdu suara ibu yang tengah mengaji. Duduk di beranda untuk melepas penat saat malam tiba adalah rutinitasku setelah dia pergi untuk selama-lamanya. Sesekali aku menyeruput secangkir kopi yang ku taruh di meja kayu di samping kursi. Sesekali pula tanganku dengan cekatan menghalau nyamuk-nyamuk yang datang kelaparan. Seminggu pertama sejak kepergianmu tanpa kusadari bulir-bulir bening hangat air mata selalu jatuh membasahi pipiku. Aku memang kuat bekerja berpanas-panas ria bermandikan cahaya matahari di siang yang terik, atau tanpa ragu membiarkan air hujan membasahi sekujur tubuhku saat ngelimbang. Itu tak soal, aku sudah sangat terbiasa sekali. Tapi ketika malam itu semuanya terjadi. Aku hanyalah sesosok bujang melayu yang rapuh, tak lebih. Malam itu masih terekam jelas dalam ingatanku, ketika dengan tergesa-gesa pak cik mu mendatangi rumah ku. Di tengah guyuran hujan beliau datang untuk mengabarkan kau yang baru saja menghembuskan nafas terakhir karena kecelakaan di pertigaan pasar, tepat di depan warung kopi Aliong. Petir yang menyambar-nyambar seakan tahu isyarat hatiku malam itu. Alam memang selalu piawai menerjemahkan sekitarnya. Lantas mengapa kau begitu tega meninggalkan ku sendiri? Bukankah kita sudah merencanakan pernikahan bulan depan? Bukankah kita sudah memesan baju pengantin dan dekorasi pelaminan pada mak inang? Bukankah kita sudah merencanakan ingin punya anak kembar? Oh... dan nama-nama untuk si kembar pun sudah kau siapkan? Kita sudah berjanji untuk selalu bersama-sama? Lantas mengapa kau pergi? Bagaimana dengan janji-janji dan mimpi kita? Mengapa kau begitu tega membiarkanku menangis pilu di atas pusara mu?
“Ahh...Santi...” tanpa sadar aku mendesah pelan
Semenjak kau pergi aku tak lagi merasa berjalan dengan kedua kaki ku. Aku selalu merasa tak seimbang karena berjalan dengan satu kaki layaknya orang pincang. Separuh jiwaku telah melayang bersama ragamu yang menyatu dengan tanah sejak saat itu. Tapi setelah sekian lama, malam ini aku merenung dan menyadari bahwa ada yang berbeda dalam diriku sejak bertemu wanita itu. Wanita yang kulihat untuk pertama kalinya saat pulang ngelimbang.
“Tahukah kau santi? Matanya sama seperti matamu. Aku bahkan tak percaya saat menyadari hal itu. Tak hanya itu, tawanya yang lepas juga selalu mengingatkanku akan tawamu. Dia begitu mirip denganmu. Dia adalah rupamu yang kembali untuk mengembalikan semangatku. Aku tahu kau akan senang jika melihatku tak lagi bersedih bukan? Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangimu. Istirahatlah dengan tenang di sana dek, abang sudah menemukan kau kembali di sini”   
Tiba-tiba tanpa aku sadari ibu sudah duduk di kursi sebelahku. Beliau menatap takzim ke jalan raya yang cukup ramai dipenuhi kendaraan malam ini.
Umak kenapa keluar? Udara di luar cukup dingin, nanti Umak masuk angin”
“Aduh..Pandi jangan terlalu berlebihan. Walaupun sudah tua, Umak mu ini masih
  cukup kuat”
“Mak bolehkah aku mengajaknya kemari? Aku ingin dia bertemu langsung dengan Umak.
  Aku rasa sudah waktunya, aku tidak ingin berlama-lama lagi membujang”
“Apakah kau yakin dengan apa yang kau katakan itu?”
“Tentu saja aku yakin mak. Aku sudah memantapkan hatiku, tinggal menunggu restu dan izin
  dari Umak saja”
“Pandi, sebetulnya umak senang sekali melihat kau kembali bersemangat belakangan ini. Kau
  seakan sudah kembali menemukan gairah hidup semenjak kepergian Santi. Tapi Umak tidak
  habis pikir mengapa pilihanmu harus wanita yang bekerja di tempat itu. Bukankah kau
  sudah tahu, orang-orang di sini punya pandangan yang sangat negatif dengan wanita-wanita
  pendatang yang bekerja di situ. Umak hanya menginginkan kau mendapatkan pendamping
  hidup  yang baik ”
“Jadi menurut Umak wanita pilihanku ini bukan orang baik-baik?”
Umak tidak berkata seperti itu. Kau sekarang sudah dewasa. Kau tentu paham bagaimana
  seharusnya menjalani hidup ini. Lupakah kau bahwa wanita itu orang Sunda? Apakah kau
  tidak ingat dengan nasib Pak cik mu yang menikah dengan orang Sunda, lantas sekarang
  istrinya yang mengendalikan kehidupan dia sepenuhnya. Terlebih lagi masalah keuangan,
  dia tak pernah sepeser pun menghabiskan gajinya untuk keperluannya sendiri. Kasihan betul
  Pak cik mu itu”
“Tapi kan sekarang tentu semuanya sudah berbeda, mak. Hanya karena mak cik yang
  perangainya seperti itu dan dia orang sunda, maka umak semudah itu menilai Euis?”
“Yah,, kau betul sekali anakku. Perangai Mak cik mu itu bukanlah satu-satunya alasan umak.
  Tapi coba kau tengok si Amri anak Fatimah, setelah menikahi wanita yang dulunya bekerja
  di tempat itu, nampaknya dia semakin susah saja. Istrinya itu hanya tahu memeras keringat
  Amri semata, tapi tak telaten mengurus suami sendiri. Lagipula kau itu bujang melayu yang
  tampan, tak ubahnya seperti ayah mu. Kau pikirkan lah lagi perkataan umak.”
***
“Aduh Bang, pedas sekali gangan buatan umak abang ini”  Euis berujar sambil mengerjap-
  ngerjap menahan rasa pedas.
“Justru kalau tidak pedas, itu bukan gangan namanya dek. Orang melayu itu memang suka
  masakan yang pedas. Kalau orang sunda mungkin suka yang manis, karena orangnya
  memang manis-manis seperti yang duduk di samping abang sekarang. Nanti kau harus
  belajar masak gangan buat abang.”  Aku menimpali sembari tersenyum kecil.
“Ahh...dasar tukang merayu. Bang, apa abang tidak malu berencana menikah dengan
  perempuan seperti ku ini?”
  Aku memperbaiki posisi duduk ku dan menatapnya “ Malu? Malu yang seperti apa dek?
  Kau ini ada-ada saja, kenapa aku harus malu menikah dengan wanita yang punya pendirian
  kuat dan berani bertanggung jawab bahkan bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk hidup
  orang lain yang membuat nya merasa hidup.”
“Bang nanti setelah menikah Euis akan patuh ikut abang, Euis akan rela jika harus tetap   
  tinggal di Belitung”
“Iya, abang juga sudah mempertimbangkan hal itu. Memang lebih baik kita tetap tinggal di
  Belitung dulu, suatu waktu kalau ada rezeki lebih barulah kita mengunjungi ibu dan
  Anakmu. Hidup di Belitung itu enak Euis, aman, nyaman, dan tenteram. Kaum pendatang
  selalu suka menetap dan membuka usaha di sini.”
Beginilah kami belakangan, sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Menggenapi hari-hari dengan tawa dan canda. Seperti siang ini, kembali berkelakar dipayungi nyiur yang melambai-lambai tertiup angin pantai. Tiba-tiba Euis mengeluarkan dompet dari sakunya, lantas mengambil secarik foto usang yang nampaknya sudah di simpan begitu lama oleh pemiliknya.
“Bang ini foto bapak ku, aku memang tidak pernah melihatnya secara langsung sejak kecil
  selain dari foto lama yang aku minta paksa dari ibu ini. Aku ingin Abang melihatnya saja,
  bukan kah kita berencana menikah? Aku rasa tidak ada salahnya abang melihat foto bapak.”
Aku lantas menerima foto tersebut dan melihatnya. Wajahku memerah seketika, degup jantungku tak beraturan setelahnya, pikiran ku kacau balau tak mampu menalikan semua ini. Pria dalam foto itu sungguh tak asing bagiku.
***
EPILOG
Senja ini masih sama selayaknya hari-hari kemarin, jalanan yang kulalui pulang ngelimbang juga masih seperti biasanya, motor yang selalu setia menemani putaran kisah hidupku juga masih yang dulu, bahkan aku masih seorang bujang melayu yang masih menanti sesuatu bernama “cinta sejati”.
Kebakaran itu begitu dahsyat, sedahsyat luapan emosi sekumpulan ibu-ibu yang menyulutkan si jago merah malam itu. Sudah sejak lama tuntutan mereka untuk menghapuskan izin warung-warung minuman itu di anggap angin semusim saja oleh pemda. Mereka merasa tak ada hal lain yang menjadi perihal suami mereka yang semakin jarang pulang ke rumah dan memberi nafkah, selain bangunan-bangunan semi permanen itu. Begitu cepat api menghanguskan bangunan itu tanpa ampun, tak terkecuali beberapa nyawa malang di dalamnya termasuk kamu.
“Santi jagalah Euis demi abang di sana, jagalah adik perempuan abang satu-satunya itu. Dia sungguh wanita yang baik dan berhati mulia. Dia memang selalu diperlakukan tidak adil oleh takdir dunia, bahkan hingga ajal menjemput. Cinta sejatinya pun harus jatuh kepada orang yang keliru, hanya karena takdir di masa lalu yang diperbuat bapaknya yang juga ayahku. Ahh...dunia memang terlalu luas, bahkan teramat luas. Meskipun tak jarang terasa sempit dan pengap bagi orang-orang seperti kami, seperti aku dan Euis.”




Keterangan :
Gangan           :           Masakan khas dari pulau Belitung semacam gulai yang berwarna
                                    kuning.
Mak cik          :           Saudara perempuan dari ayah atau ibu / bibi
Mak Inang      :           Juru rias pengantin
Ngelimbang    :           Menambang timah dengan cara manual dan tradisional, biasanya
            menggunakan alat semacam kuali bekas.
Ngutang         :           Berutang
Pak cik          :           Saudara laki-laki dari ayah atau ibu / paman
Umak            :           Ibu