Jumat, 25 Mei 2012

yang Pergi dan Kembali Pergi


“Tik..tik...tik”
Malam ini hujan lagi-lagi menyapa, tiap tetesnya seakan membersihkan debu-debu jalanan yang menempel di aspal sejak tadi siang. Hawa dingin kian terasa membalut atmosfer kehidupan dengan penuh gairah nakal.
Aku pun ikut menggigil bersama suara halilintar yang menyambar-nyambar di luar sana. Dinding-dinding papan yang sebagian sudah koyak ini, tentu saja tak mampu memberi kehangatan bagi tubuh ku. Di malam-malam seperti ini rasa itu kembali beranak-pinak menyesaki hatiku. Rasa itu begitu perih dan perlahan sudah mulai menghambar di dadaku. Terlampau lama bersarang dan meninggalkan semburat luka yang mendalam. Lantas aku pun hanya mampu terdiam dalam malam pekat berbalut kehampaan.
Ibu sudah sering menasihatiku dalam ketuaannya. Tubuh ringkih nya tergoncang-goncang karena batuk yang tak kunjung sembuh, tapi dia tak pernah bosan apalagi putus asa mengingatkanku. Aku bahkan sudah hafal setiap rangkaian kata yang akan keluar dari mulut keriputnya setiap kali itu terjadi.
Aku memang anak semata wayang, dan semenjak ayah meninggal tujuh tahun yang lalu, aku tinggal berdua bersama ibu di rumah sederhana kami ini. Aku memang tak sempat mengenyam bangku kuliah hingga ke pulau Jawa seperti sebagian teman-teman SMA ku, tapi aku mampu mandiri menghidupi ibu dan diriku sendiri dengan bekerja menambang timah seperti layaknya lelaki lain di Pulau Belitung ini. Aku bukanlah anak yang tak terlalu pandai di sekolah dulu, tapi sebuah faktor sentimentil serupa masalah keuanganlah yang menyebabkan aku tidak melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Jadi lah aku seperti sekarang ini, menjalani putaran waktu kehidupan di kampung kecil ini, menambang kekayaan alam yang entah sampai kapan mampu menopang pundi-pundi perekonomian sebagian besar penduduk di sini.  
***
Siang itu mendung masih menggelayut seperti sore tadi. Dengan tergesa-gesa aku bergegas pulang ke rumah setelah lelah seharian ngelimbang. Setelah keluar hutan dan bertemu jalan aspal aku terus memacu sepeda motor kesayangan ku ini. Sebentar lagi hujan akan turun pikirku. Jalanan tampak lengang, walaupun biasanya memang tak selalu ramai. Maklumlah ini adalah jalan menuju sebuah pantai, persawahan, daerah transmigrasi, dan tentunya beberapa lokasi penambangan timah. Oleh karena itu, tentu saja tak begitu ramai dilalui masyarakat yang hilir mudik.
Angin berhembus merdu menerpa wajahku yang hitam legam. Sementara itu ilalang di kiri kanan jalan tampak bergoyang-goyang begitu gemulainya. Aku terus berkendara sambil menggendong ransel bututku yang setia menemani sejak SMA dulu, kini isinya bukan lagi buku-buku pelajaran tentunya, tapi  bekal yang selalu disiapkan ibu untuk mengganjal perutku saat ngelimbang. Beberapa saat kemudian aku sudah melewati beberapa rumah warga yang jaraknya cukup berjauhan satu sama lain. Belakangan beberapa orang memutuskan untuk membangun rumah di sekitar jalanan ini. Tak hanya rumah-rumah warga, tapi beberapa toko kecil dan bangunan-bangunan semi permanen yang sekarang menjamur di sini. Bangunan semi permanen itu bukan bangunan biasa, pasalnya bangunan itu adalah semacam warung minuman dengan pekerja wanita yang di datangkan pemiliknya dari luar pulau. Sebagian pekerja itu berasal dari Palembang dan sebagian besar lainnya dari Jawa Barat. Keuntungan akan semakin besar jika pekerja-pekerja itu dari luar pulau, orang akan semakin banyak berkunjung begitulah menurut pemiliknya.
Di saat tengah asyik berkendara, tiba-tiba saja mataku menangkap sesosok yang tengah berbincang bersama seorang pria paruh baya di depan salah satu warung minuman. Sosok itu mengenakan t-shirt abu-abu muda bermotif bunga-bunga merah yang dipadu dengan celana jins selutut. Dari samping aku dapat melihat jelas matanya yang bulat bersinar, alisnya yang hitam lebat, rambutnya yang dikuncir ke belakang dan dibiarkan jatuh sedikit di bagian dahinya, serta senyumnya yang membuat bibirnya mengembang penuh pesona. Seketika tubuhku bergetar hebat, peluh yang memang sejak tadi bercucuran membasahi baju lusuhku kian banyak berjatuhan lantas mengalir membasahi wajahku. Sosok itu seakan kembali menguapkan luka lama beberapa tahun silam itu.
***
 “Ayolah Euis, jika kau menginginkan kehidupan yang layak, lebih baik ikut teteh saja bekerja di sana. Kau hanya tinggal mengandalkan kepiawaian mu sebagai seorang wanita yang merupakan perayu ulung, maka uang akan mengalir dengan sendirinya. Apalagi yang kau khawatirkan, di sana ada banyak teman sekampung kita yang juga bekerja seperti teteh”
Kalimat demi kalimat itu selalu terngiang memenuhi rongga otakku sejak petang itu di serambi warung Bi Neneng.
Setelah kurang lebih dua tahun bekerja di sana, Teh Ayu bisa rutin mengirim uang ke rumah setiap bulan nya. Menurut perkiraan ku jumlah uang bulanan itu cukup banyak, sehingga kini kedua orang tuanya telah berhenti bekerja menggarap sawah milik seorang juragan besar. Tak hanya itu saja, Teh Ayu, Diana, Rima, dan yang lainnya yang bekerja di sana setiap pulang kampung selalu fasih berkelakar mengenai perjalanan mereka ke sana yang harus ditempuh dengan jalur udara itu. Mereka selalu berceloteh asyik seakan-akan bekerja di sana betul-betul menjanjikan. Aku pun hanya mengangguk-angguk pelan sambil sesekali tersenyum kecil menimpali cerita-cerita mereka itu.
Seminggu setelah pertemuan di warung Bi Neneng itu, aku akhirnya memutuskan untuk ikut Teh Ayu yang akan kembali ke tempat kerjanya itu. Aku memutuskan untuk bekerja di sana. Sepanjang perjalanan itu, aku hanya diam menahan perasaan sedih yang menggenang di sanubariku. Aku sedih karena harus berpisah dengan ibu dan kedua anakku, tapi aku juga bingung karena tak mampu membayangkan pekerjaan baru yang akan aku geluti nanti.
Dan ternyata cerita teman-teman sekampungku itu tak keliru walaupun tak sepenuhnya benar. Tanpa terasa waktu terus melesat bagai desingan peluru. Sudah setengah tahun aku di sini, terlempar jauh dari kampung halaman ku di Pulau Jawa sana, bahkan bermimpi pun aku tak pernah bahwa akan mendapati diriku yang sekarang bekerja di bagian kecil Pulau Sumatra ini. Setiap hari rupiah demi rupiah kudapatkan dari tangan-tangan nakal yang legam dan bau apek itu. Menemani ngobrol dalam peliknya masalah anak istri yang menjadi tanggung jawab, membantu melepas penat, dan menguraikan sebuah kebersamaan yang ganjil. Sejauh ini  semuanya baik-baik saja bagiku, lambat laun tanpa ku sadari aku mulai menikmati pekerjaan ini. Tak peduli seperti apa sorotan negatif dari orang-orang pribumi di kampung ini terhadapku. Terlebih lagi ibu-ibu paruh baya, ibu-ibu muda, ibu-ibu dari ibu-ibu mereka yang selau memandang kami dengan tatapan sinis. Bagiku ini hanyalah masalah posisi saja, mereka tak sedang berada di posisiku dan aku tak di tengah posisi mereka.  
Mereka boleh saja mengeluhkan suaminya yang jarang pulang ke rumah, mereka sah-sah saja mengomel karena uang belanja yang tersendat-sendat, mereka lumrah saja menangisi perangai suaminya yang berdampak buruk bagi anak-anak mereka, tapi bolehkah aku mengungkapkan sedikit saja. Bolehkah aku berkoar juga atas cobaan bertubi-tubi yang menimpaku bahkan sejak masih dalam gendongan ibuku. Aku memang tak pernah tahu seperti apa figur seorang ayah, sejak aku dilahirkan yang kukenal hanyalah ibu. Aku tak pernah mau mencari tahu sebab musabab hal tersebut. Aku tumbuh seperti kebanyakan gadis lain di kampung. Aku memang sempat mengenyam pendidikan, tapi itupun hanya sampai lulus SD saja. Setelah itu aku sebagai putri satu-satunya harus membantu ibu bekerja apa saja guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jika boleh jujur semua itu memang aku lakukan dengan terpaksa, keterpaksaan karena waktu bermainku harus terbagi dengan pekerjaanku membantu ibu. Lantas masa remaja pun datang, masa yang kata orang-orang adalah masa yang indah. Menginjak usia 15 tahun aku menikah dengan seorang pemuda kampung tetangga yang lima tahun terpaut usia dari ku. Ibu tentu saja memberi restu, tanpa perlu berpikir panjang ketika ada seorang pemuda yang melamar putri semata wayangnya yang hanya tamatan SD ini. Maka hari-hari yang indah pun menyambut masa-masa awal pernikahan kami. Bahkan tak perlu berselang lama aku telah melahirkan dua orang anak dari rahim ini. Hidup memang tak selamanya indah, meskipun bagiku memang tak pernah indah. Suamiku sekaligus ayah dari anak-anakku berselingkuh dengan seorang janda kaya dari kecamatan. Hanya karena janda sialan itulah ‘mantan’ suamiku itu tega menjatuhkan talak kepadaku lantas pergi selamanya tanpa mau tahu betapa kejamnya kenyataan hidup yang harus aku hadapi bersama kedua buah hati kecilku. Kedua buah hati ku itulah yang menjadi sumber kekuatanku untuk tetap bertahan bekerja di sini. Kini ibu sesekali memberi kabar dari rumah, mengabarkan si sulung yang semakin rajin belajar dan adiknya yang telah mampu berceloteh satu dua patah kata. Sungguh bahagia sekali hatiku mendengar semua itu, meskipun sesungguhnya aku merasakan kekosongan yang teramat sangat membuncah di jiwaku. Aku pun tak pernah paham apakah gerangan itu.
Sejatinya aku memang hanya lah perempuan biasa yang jauh dari kesan istimewa. Tak ada yang patut aku bangga kan dalam diriku, sekolah saja hanya sampai SD. Dalam usia yang belia bahkan sudah menjadi janda dengan dua orang anak. Di saat tengah sendiri aku selalu berpikir mengapa hidup ini harus selalu merasakan kekecewaan dari seorang mahkluk bernama laki-laki. Diawali oleh  ibuku yang tak pernah dinikahi secara resmi oleh lelaki yang menanam benih di rahimnya. Ternyata takdir itu masih melekat pada diriku, ku kira dengan memutuskan menikah aku akan merasakan kebahagiaan dari lelaki yang dulu ku cintai itu. Tapi ketulusan yang dulu aku lihat jelas di matanya, tak lebih dari sebuah kepalsuan semata. Perih sekali...
Kita memang tidak akan pernah tahu episode kehidupan seperti apa yang akan menghampiri. Meskipun terkadang kita selalu ingin menduga-duga. Apakah aku salah jika kini bekerja di sini? Apakah aku perusak rumah tangga orang? Apakah aku perampas kebahagiaan orang lain? Segalanya menjadi berbeda setelah aku mengenal dia, termasuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Selama berada di sini aku telah banyak bertemu dan mengenal lelaki pribumi kampung ini. Dari mulai para sopir truk pengangkut pasir, sopir truk pengangkut batu, para pemuda pengangguran, para bujang-bujang yang baru beranjak dewasa, para penambang timah kecil-kecilan, hingga bos besar yang merupakan pengumpul timah dari penambang kecil itu. Mereka membaur jadi satu di sini, tak ada yang peduli dengan status sosial, asal minum tidak ngutang bukan perkara. Tapi dia sungguh berbeda dari lelaki lainnya, sejak pertama kali bertemu aku telah memutuskan bahwa dialah lelaki melayu paling tulus sejagad raya. Jangan bandingkan dia dengan Parman si sopir truk itu, Parman jelas-jelas berbeda. Apalagi dibandingkan dengan Wandi bos besar timah yang jelas-jelas hobi menebar rayuan murahan tanpa sadar umur.
Telah seminggu sejak pertama kali kami berjumpa. Aku benar-benar merasa seperti gadis kembali, aku terkadang lupa jika statusku adalah janda dengan dua orang anak. Aku benar-benar merasakan hal yang berbeda jika berada di dekatnya. Mungkin sekarang adalah masa-masa remaja yang dulu telah kulewatkan dari episode kehidupan ini. Dia benar-benar membuatku mampu mengartikan betapa indahnya mencintai dan dicintai dengan tulus.

***
Sayup-sayup di beranda depan kudengar lantunan merdu suara ibu yang tengah mengaji. Duduk di beranda untuk melepas penat saat malam tiba adalah rutinitasku setelah dia pergi untuk selama-lamanya. Sesekali aku menyeruput secangkir kopi yang ku taruh di meja kayu di samping kursi. Sesekali pula tanganku dengan cekatan menghalau nyamuk-nyamuk yang datang kelaparan. Seminggu pertama sejak kepergianmu tanpa kusadari bulir-bulir bening hangat air mata selalu jatuh membasahi pipiku. Aku memang kuat bekerja berpanas-panas ria bermandikan cahaya matahari di siang yang terik, atau tanpa ragu membiarkan air hujan membasahi sekujur tubuhku saat ngelimbang. Itu tak soal, aku sudah sangat terbiasa sekali. Tapi ketika malam itu semuanya terjadi. Aku hanyalah sesosok bujang melayu yang rapuh, tak lebih. Malam itu masih terekam jelas dalam ingatanku, ketika dengan tergesa-gesa pak cik mu mendatangi rumah ku. Di tengah guyuran hujan beliau datang untuk mengabarkan kau yang baru saja menghembuskan nafas terakhir karena kecelakaan di pertigaan pasar, tepat di depan warung kopi Aliong. Petir yang menyambar-nyambar seakan tahu isyarat hatiku malam itu. Alam memang selalu piawai menerjemahkan sekitarnya. Lantas mengapa kau begitu tega meninggalkan ku sendiri? Bukankah kita sudah merencanakan pernikahan bulan depan? Bukankah kita sudah memesan baju pengantin dan dekorasi pelaminan pada mak inang? Bukankah kita sudah merencanakan ingin punya anak kembar? Oh... dan nama-nama untuk si kembar pun sudah kau siapkan? Kita sudah berjanji untuk selalu bersama-sama? Lantas mengapa kau pergi? Bagaimana dengan janji-janji dan mimpi kita? Mengapa kau begitu tega membiarkanku menangis pilu di atas pusara mu?
“Ahh...Santi...” tanpa sadar aku mendesah pelan
Semenjak kau pergi aku tak lagi merasa berjalan dengan kedua kaki ku. Aku selalu merasa tak seimbang karena berjalan dengan satu kaki layaknya orang pincang. Separuh jiwaku telah melayang bersama ragamu yang menyatu dengan tanah sejak saat itu. Tapi setelah sekian lama, malam ini aku merenung dan menyadari bahwa ada yang berbeda dalam diriku sejak bertemu wanita itu. Wanita yang kulihat untuk pertama kalinya saat pulang ngelimbang.
“Tahukah kau santi? Matanya sama seperti matamu. Aku bahkan tak percaya saat menyadari hal itu. Tak hanya itu, tawanya yang lepas juga selalu mengingatkanku akan tawamu. Dia begitu mirip denganmu. Dia adalah rupamu yang kembali untuk mengembalikan semangatku. Aku tahu kau akan senang jika melihatku tak lagi bersedih bukan? Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangimu. Istirahatlah dengan tenang di sana dek, abang sudah menemukan kau kembali di sini”   
Tiba-tiba tanpa aku sadari ibu sudah duduk di kursi sebelahku. Beliau menatap takzim ke jalan raya yang cukup ramai dipenuhi kendaraan malam ini.
Umak kenapa keluar? Udara di luar cukup dingin, nanti Umak masuk angin”
“Aduh..Pandi jangan terlalu berlebihan. Walaupun sudah tua, Umak mu ini masih
  cukup kuat”
“Mak bolehkah aku mengajaknya kemari? Aku ingin dia bertemu langsung dengan Umak.
  Aku rasa sudah waktunya, aku tidak ingin berlama-lama lagi membujang”
“Apakah kau yakin dengan apa yang kau katakan itu?”
“Tentu saja aku yakin mak. Aku sudah memantapkan hatiku, tinggal menunggu restu dan izin
  dari Umak saja”
“Pandi, sebetulnya umak senang sekali melihat kau kembali bersemangat belakangan ini. Kau
  seakan sudah kembali menemukan gairah hidup semenjak kepergian Santi. Tapi Umak tidak
  habis pikir mengapa pilihanmu harus wanita yang bekerja di tempat itu. Bukankah kau
  sudah tahu, orang-orang di sini punya pandangan yang sangat negatif dengan wanita-wanita
  pendatang yang bekerja di situ. Umak hanya menginginkan kau mendapatkan pendamping
  hidup  yang baik ”
“Jadi menurut Umak wanita pilihanku ini bukan orang baik-baik?”
Umak tidak berkata seperti itu. Kau sekarang sudah dewasa. Kau tentu paham bagaimana
  seharusnya menjalani hidup ini. Lupakah kau bahwa wanita itu orang Sunda? Apakah kau
  tidak ingat dengan nasib Pak cik mu yang menikah dengan orang Sunda, lantas sekarang
  istrinya yang mengendalikan kehidupan dia sepenuhnya. Terlebih lagi masalah keuangan,
  dia tak pernah sepeser pun menghabiskan gajinya untuk keperluannya sendiri. Kasihan betul
  Pak cik mu itu”
“Tapi kan sekarang tentu semuanya sudah berbeda, mak. Hanya karena mak cik yang
  perangainya seperti itu dan dia orang sunda, maka umak semudah itu menilai Euis?”
“Yah,, kau betul sekali anakku. Perangai Mak cik mu itu bukanlah satu-satunya alasan umak.
  Tapi coba kau tengok si Amri anak Fatimah, setelah menikahi wanita yang dulunya bekerja
  di tempat itu, nampaknya dia semakin susah saja. Istrinya itu hanya tahu memeras keringat
  Amri semata, tapi tak telaten mengurus suami sendiri. Lagipula kau itu bujang melayu yang
  tampan, tak ubahnya seperti ayah mu. Kau pikirkan lah lagi perkataan umak.”
***
“Aduh Bang, pedas sekali gangan buatan umak abang ini”  Euis berujar sambil mengerjap-
  ngerjap menahan rasa pedas.
“Justru kalau tidak pedas, itu bukan gangan namanya dek. Orang melayu itu memang suka
  masakan yang pedas. Kalau orang sunda mungkin suka yang manis, karena orangnya
  memang manis-manis seperti yang duduk di samping abang sekarang. Nanti kau harus
  belajar masak gangan buat abang.”  Aku menimpali sembari tersenyum kecil.
“Ahh...dasar tukang merayu. Bang, apa abang tidak malu berencana menikah dengan
  perempuan seperti ku ini?”
  Aku memperbaiki posisi duduk ku dan menatapnya “ Malu? Malu yang seperti apa dek?
  Kau ini ada-ada saja, kenapa aku harus malu menikah dengan wanita yang punya pendirian
  kuat dan berani bertanggung jawab bahkan bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk hidup
  orang lain yang membuat nya merasa hidup.”
“Bang nanti setelah menikah Euis akan patuh ikut abang, Euis akan rela jika harus tetap   
  tinggal di Belitung”
“Iya, abang juga sudah mempertimbangkan hal itu. Memang lebih baik kita tetap tinggal di
  Belitung dulu, suatu waktu kalau ada rezeki lebih barulah kita mengunjungi ibu dan
  Anakmu. Hidup di Belitung itu enak Euis, aman, nyaman, dan tenteram. Kaum pendatang
  selalu suka menetap dan membuka usaha di sini.”
Beginilah kami belakangan, sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Menggenapi hari-hari dengan tawa dan canda. Seperti siang ini, kembali berkelakar dipayungi nyiur yang melambai-lambai tertiup angin pantai. Tiba-tiba Euis mengeluarkan dompet dari sakunya, lantas mengambil secarik foto usang yang nampaknya sudah di simpan begitu lama oleh pemiliknya.
“Bang ini foto bapak ku, aku memang tidak pernah melihatnya secara langsung sejak kecil
  selain dari foto lama yang aku minta paksa dari ibu ini. Aku ingin Abang melihatnya saja,
  bukan kah kita berencana menikah? Aku rasa tidak ada salahnya abang melihat foto bapak.”
Aku lantas menerima foto tersebut dan melihatnya. Wajahku memerah seketika, degup jantungku tak beraturan setelahnya, pikiran ku kacau balau tak mampu menalikan semua ini. Pria dalam foto itu sungguh tak asing bagiku.
***
EPILOG
Senja ini masih sama selayaknya hari-hari kemarin, jalanan yang kulalui pulang ngelimbang juga masih seperti biasanya, motor yang selalu setia menemani putaran kisah hidupku juga masih yang dulu, bahkan aku masih seorang bujang melayu yang masih menanti sesuatu bernama “cinta sejati”.
Kebakaran itu begitu dahsyat, sedahsyat luapan emosi sekumpulan ibu-ibu yang menyulutkan si jago merah malam itu. Sudah sejak lama tuntutan mereka untuk menghapuskan izin warung-warung minuman itu di anggap angin semusim saja oleh pemda. Mereka merasa tak ada hal lain yang menjadi perihal suami mereka yang semakin jarang pulang ke rumah dan memberi nafkah, selain bangunan-bangunan semi permanen itu. Begitu cepat api menghanguskan bangunan itu tanpa ampun, tak terkecuali beberapa nyawa malang di dalamnya termasuk kamu.
“Santi jagalah Euis demi abang di sana, jagalah adik perempuan abang satu-satunya itu. Dia sungguh wanita yang baik dan berhati mulia. Dia memang selalu diperlakukan tidak adil oleh takdir dunia, bahkan hingga ajal menjemput. Cinta sejatinya pun harus jatuh kepada orang yang keliru, hanya karena takdir di masa lalu yang diperbuat bapaknya yang juga ayahku. Ahh...dunia memang terlalu luas, bahkan teramat luas. Meskipun tak jarang terasa sempit dan pengap bagi orang-orang seperti kami, seperti aku dan Euis.”




Keterangan :
Gangan           :           Masakan khas dari pulau Belitung semacam gulai yang berwarna
                                    kuning.
Mak cik          :           Saudara perempuan dari ayah atau ibu / bibi
Mak Inang      :           Juru rias pengantin
Ngelimbang    :           Menambang timah dengan cara manual dan tradisional, biasanya
            menggunakan alat semacam kuali bekas.
Ngutang         :           Berutang
Pak cik          :           Saudara laki-laki dari ayah atau ibu / paman
Umak            :           Ibu





Jumat, 11 Mei 2012

Garis


Kulitnya hitam manis, semanis gulali yang selalu mempunyai daya magnetis bagi serombongan semut. Bibirnya kecil mungil tipis hingga begitu kontras dengan sebentuk wajah oval yang menyertai. Ikal bergelombang itulah rambutnya, namun warnanya hitam kekuning-kuningan karena pengaruh buruk sinar ultarviolet. Gerakannya lincah seakan menggoda atau membuat gemas yang melihatnya. Dan namanya garis. Garis lurus, garis bengkok, garis berputar, garis meliuk, garis melingkar, atau garis apapun. Nama itu begitu saja diberikan bapaknya yang kini telah tiada. Tapi dia selalu percaya namanya melambangkan sebentuk harapan akan sebuah mimpi besar dalam garis kehidupannya.
****
Sudah setengah hari kami berkeliling, berpindah-pindah dari satu angkot ke angkot lainnya, mengumpulkan keping-keping receh sebagai balasan dari hiburan yang kami sajikan kepada para penumpang di dalam angkot. Hiburan? Garis selalu saja menyebutnya seperti itu, padahal menurutku terkadang kami malah membuat risih para penumpang angkot bukannya menghibur mereka. Lagipula pada hakikatnya kami hanya melantunkan syair-syair dalam balutan sebuah nada yang diiringi pentingan gitar asal-asalan oleh jemari Garis. Untung saja suara Garis memang merdu sehingga mampu mengurangi kekacauan bunyi pentingan gitarnya.  Setelah selesai bernyanyi maka kami akan mengedarkan bungkus permen kumal itu ke seluruh penjuru angkot demi mengharapkan mereka tengah berbaik hati dan rela memberikan kepingan-kepingan receh untuk kami. Begitulah semuanya berjalan berulang-ulang sejak matahari terbit hingga kembali lagi tenggelam di singgasananya.
Terkadang dalam sehari kami bisa mendapatkan uang yang lumayan sehingga pulangnya kami bisa membelikan emak sekotak martabak dan sisanya ditabung untuk biaya berobat beliau.  Namun tak jarang uang yang dengan susah payah kami kumpulkan seharian hanya cukup untuk mengganjal perut dengan sebungkus nasi plus lauk tempe dan tahu saja. Atau jika sedang benar-benar tidak beruntung kami tak mendapat uang sepeserpun, berangkat dengan penuh semangat dan pulang tanpa gairah sama sekali. Hal itu bisa saja terjadi  karena berbagai faktor, misalnya saja Garis yang sedang sakit tapi memaksakan diri berangkat mengamen. Biasanya kalau sudah seperti itu kami akan mengamen setengah hari dan pulang dengan tangan kosong. Jika keadaannya sudah begitu, aku akan mengomel di dalam hati. Aku akan merutuki Garis yang keras kepala, tidak mau istirahat di rumah saja hingga sembuh barulah kembali mengamen. Yah, Garis memang keras kepala. Dia tak pernah sekalipun ingin absen mengamen. Baginya sehari saja tidak berangkat mengamen maka kami sudah melakukan sebuah kesia-siaan.
“Hidup itu harus berusaha, bahkan berusaha keras. Kalau kita tidak berangkat mengamen berarti kita sama sekali tidak berusaha. Meskipun tidak akan ada hasilnya, tapi aku sudah berusaha semampuku. Kau tahu kepuasan hidup itu adalah ketika kita bisa memaksimalkan segala kemampuan dalam diri kita untuk berusaha.”
Aku sudah hafal celotehan Garis yang seperti itu. Aku pun akan menanggapinya dengan tersenyum kecut.  Kata-katanya itu bagiku sedikit sok tahu dan sok bijak, padahal dia kan baru berumur sebelas tahun. Huh...
Garis memang tumbuh berbeda dari kebanyakan anak perempuan seusianya. Dia adalah anak yang cerdas, sejak kecil dia selalu bertanya ini itu kepada bapak atau emak. Rasa penasaran seakan selalu menyala-nyala di kedua bola matanya. Kecerdasannya kian terbukti saat masuk Sekolah Dasar, emak dibuatnya menangis haru ketika pembagian rapor pertama kali karena dia berhasil menjadi juara pertama di kelas. Hingga kelas enam Garis selalu menjadi juara di kelasnya, tapi kecerdasan Garis tiba-tiba terabaikan begitu saja ketika bapak meninggal dan itu berarti Garis putus sekolah. Emak sudah cukup lama menderita asma sehingga harus banyak istirahat di rumah dan tidak boleh terlalu lelah bekerja, maka sebagai anak satu-satunya Garis lah yang kini menjadi tulang punggung keluarga.
****
Senja begitu temaram seakan menyimpan sebuah misteri yang membuncah di dalamnya. Di atas sana mendung tampak menggelayut manja, pertanda bahwa hujan akan turun sebentar lagi. Sesekali terdengar bunyi gemuruh bersahut-sahutan memecah belah kesunyian. Namun itu semua tak dipedulikan Garis, semua itu tak sedikitpun menyurutkan langkahnya untuk mampir dulu ke rumah Bu Anita sebelum pulang ke rumah. Aku untuk yang kesekian kalinya kembali merutuki tingkah garis di dalam hati. Bu Anita adalah seorang guru yang mempunyai perpustakaan gratis di rumahnya. Semenjak putus sekolah Garis selalu rutin ke rumah Bu Anita untuk memuaskan berbagai dahaganya dalam belajar. Banyak hal yang sering dilakukan Garis di sana, seperti meminjam buku, berdiskusi banyak hal dengan beliau, atau belajar banyak hal untuk mengejar ketinggalannya. Bu Anita selalu senang setiap Garis datang, beliau tahu bahwa Garis adalah anak yang cerdas. Setiap hal yang dijelaskannya kepada Garis akan begitu cepat dipahami oleh Garis. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Garis selalu mengisyaratkan betapa besar rasa keingintahuan anak itu.
****

Malam ini kami bertiga duduk mengitari meja makan kayu yang terletak di dapur. Semenjak bapak meninggal dan penyakit asma emak semakin menuntutnya banyak istirahat, meja makan ini jarang kami gunakan untuk makan bersama-sama.
“Alhamdulillah hari ini ada rezeki dari Allah, katanya bu RT tadi sore syukuran keberangkatan anaknya mau kuliah ke luar negeri dapat tunjangan dari pemerintah itu loh. Jadi ya bagi-bagi makanan ini ke warga sini”  Emak berujar sambil tersenyum
“Mungkin maksud Emak tunjangan itu adalah beasiswa. Karena mbak Ayu, anak bu RT itu berprestasi makanya dia berhak mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. Beruntung sekali ya mak, mbak Ayu itu” Garis menimpali dan tatapannya menerawang jauh
“Iya, kita doakan saja semoga kuliahnya lancar. Tapi bukan berarti kau tidak beruntung nak. Kau memang harus berhenti sekolah semenjak bapak meninggal, kau memang tak bisa lagi mewujudkan mimpimu untuk terus sekolah hingga menjadi orang pintar, orang terpelajar. Tapi emak tak pernah melihat semangat di matamu padam sekejap pun, kau punya semangat yang luar biasa, kau selalu membuat emak bangga”
“Emak terlalu berlebihan, Garis tidak akan jadi diri Garis yang sekarang tanpa seorang emak yang lebih luar biasa”
“Dasar kau ini, ya sudah ayo kita makan. Jangan lupa baca doa dulu”
Rinai hujan terus membasahi setiap sudut di muka bumi seakan memayungi makan malam kali ini. Udara yang lembab seperti menguapkan kehangatan di tengah-tengah keluarga kecil kami. Bahagia itu memang sederhana, bahkan teramat sederhana karena akan nyata rasanya kala bersama dengan orang-orang yang kita sayangi.
****
Waktu terus berputar bagai desingan peluru kian berpacu tanpa mengenal jeda sama sekali. Kehidupan terus  bergulir meninggalkan beragam rekam jejak serupa lukisan-lukisan yang tertoreh di atas kanvas. Malam ini aku merenung, malam ini aku sendiri. Sesekali terdengar suara merdu emak yang tengah mengaji di kamarnya. Tanpa sadar bulir-bulir hangat air mata menetes di pipiku. Aku marah, aku benci, tapi tak tahu harus pada siapa melampiaskan semua itu.
Beberapa saat kemudian lamat-lamat ku dengar langkah emak menuju kemari. Secepat mungkin aku menghapus air mata yang telah membasahi kedua pipiku, emak tak boleh tahu aku tengah menangis. Beliau menghampiriku membawa aku duduk di pangkuannya. Malam semakin larut, tapi aku tahu emak belum mengantuk sama sekali. Semenjak hari itu emak memang selalu seperti ini, banyak menghabiskan waktunya dengan duduk di kursi ini menghadap ke jendela lantas menanti sesuatu yang tak kunjung kembali. Semenjak hari itu pula lah jika tengah sendirian aku selalu menangis karena sesuatu yang dinantikan emak juga aku nantikan, tapi nyatanya masih tetap saja tak kembali.
Peristiwa yang mengawali segala penantian kami ini masih terekam jelas dalam benakku. Ketika itu Garis telah berusia tiga belas tahun, dia telah beranjak remaja, tinggi badannya telah bertambah, rambutnya selalu dikuncir rapi tak lagi dibiarkan tergerai seenaknya, permainan gitar Garis juga mengalami kemajuan yang pesat karena proses belajar autodidak yang dilakukannya di sela-sela istirahat mengamen, dan satu hal yang ternyata baru kusadari adalah Garis telah menjelma menjadi seorang gadis yang manis.
Kala itu seperti biasanya kami tengah mengamen di sebuah angkot. Ketika sudah selesai kami bergegas melompat turun dari angkot tersebut, tapi belum jauh melangkah tiba-tiba saja ada yang mengejar kami dan memanggil-manggil Garis. Setelah aku amati orang itu adalah salah satu penumpang yang berada di dalam angkot tadi. Seorang pria berkulit putih berumur sekitar tiga puluh tahunan mengenakan pakaian rapi seperti pekerja kantoran menghampiri kami. Dia lah yang belakangan ku ketahui bernama Ryan, Garis memanggilnya om Ryan. Om Ryan memang orang yang pintar berkomunikasi, setiap rangkaian kata yang keluar dari mulutnya seakan mempunyai daya tarik tersendiri bagi lawan bicaranya.  Om Ryan mengatakan bahwa dia sangat terkesan dengan suara merdu Garis yang khas ketika mengamen di angkot. Dia juga merasa permainan gitar Garis yang hanya hasil belajar autodidak itu sungguh luar biasa, ada bakat besar dalam diri Garis. Om Ryan menyatakan bahwa dia bekerja di salah satu perusahaan rekaman di kota ini, oleh karena itu tentu saja dia bisa membantu Garis untuk menjadi seorang penyanyi terkenal. Sejak saat itu lah om Ryan menjadi dekat dengan Garis, sesekali bahkan mampir ke rumah di malam hari dengan membawa makanan untuk emak.
Akhirnya semua seperti sekarang ini. Garis pergi, meskipun sejak awal emak memang keberatan jika Garis menerima peluang yang ditawarkan om Ryan untuk menjadi penyanyi. Garis telah memilih dan dia tengah menjalani pilihannya itu sekarang. Mungkin om Ryan memang betul-betul berjasa telah menawarkan peluang itu kepada Garis, lihatlah Garis kini  telah menjelma menjadi salah satu penyanyi terkenal yang diidolakan para remaja. Hampir setiap hari wajah manisnya menghiasi tayangan televisi. Bahkan di perempatan jalan raya sana terdapat sebuah baliho besar iklan salah satu merk handphone dengan Garis sebagai modelnya.
Garis tetaplah Garis, meskipun ia bengkok tak selalu lurus dan sesekali meliuk. Sejak sukses menjadi seorang artis dia memang tak pernah pulang ke rumah, tapi dia rutin mengirim uang untuk emak. Bahkan suatu kali Garis pernah mengirimkan  selembar kertas yang bertuliskan jumlah uang dalam jumlah yang fantastis, bersama selembar kertas itu dia juga mengirimi emak surat. Dalam surat itu Garis meminta emak mengobati asma nya dengan intensif di rumah sakit terbaik di kota ini, dari surat itu lah emak tahu bahwa selembar kertas itu adalah sebuah cek yang  sengaja dikirimkan Garis untuk biaya pengobatan emak. Tapi toh emak tak melakukan pengobatan itu, bahkan semua uang yang dikirim Garis setelah pergi dari rumah disimpan begitu saja oleh emak di lemari reyotnya. Sehari-hari emak lebih senang mencukupi kebutuhannya dengan menggunakan uang tabungan Garis saat masih mengamen dulu, meskipun itu jauh dari cukup.
Emak masih diam dan menerawang jauh ke luar jendela. Kedua tangan keriputnya memelukku dalam pangkuannya. Tiba-tiba aku merasakan ada titik-titik air membasahi kepalaku, benar saja ternyata emak tengah menangis. Betapapun perihnya semenjak kepergian Garis, emak belum pernah sekalipun menangis. Beliau lebih banyak diam dan memendam kesedihannya di dalam hati, tapi malam ini Garis berulang tahun yang ke tujuh belas. Aku mengerti emak tak mampu lagi menahan kesedihan yang telah beranak-pinak di dalam hatinya selama ini, emak rindu Garis, emak ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada Garis lantas mengecup keningnya. 
Tapi aku hanya bisa terus diam tanpa gerak. Karena memang seperti itulah hakikat diriku sesungguhnya. Aku hanya bisa berbicara, menggerutu, tertawa, tersenyum, marah, dan menangis dalam dimensiku. Selama ini aku memang selalu setia mengikuti Garis kemanapun dia pergi. Ketika mengamen aku selalu ada di dalam tas lusuhnya dan menyembulkan sedikit wajah ku ke luar karena kancing tas yang rusak dan tak bisa lagi ditutup. Ketika istirahat mengamen aku duduk di pangkuan Garis menemaninya melahap nasi bungkus sambil sesekali mendengarkan celotehannya tentang berbagai hal. Jika celotehannya lucu dan mengundang tawa, maka aku akan terbahak-bahak merespon dalam dimensiku. Sebaliknya ketika sedang ada masalah dan Garis bercerita dengan murung, maka aku akan ikut menunduk dan ikut merasakan kesedihannya tentu saja dalam dimensiku.
Tujuh belas tahun yang lalu ketika tahu istrinya melahirkan anak perempuan, dengan penuh sukacita bapak mampir ke toko mainan sepulang kerja. Pilihannya jatuh kepada sebuah boneka perempuan bergaun pink muda berambut coklat ikal dikepang dua. Maka sejak hari itu boneka tersebut selalu berada di samping si bayi perempuan, menemaninya dengan setia. Kesetiaan yang terus terjaga seiring putaran episode kehidupan. Selalu bersama, saling menjaga dan menyayangi satu sama lain. Bayi perempuan itu adalah Garis, dan boneka bergaun pink muda itu tentu saja aku. Aku dan Garis, Garis dan aku adalah salah satu dari sekian banyak kisah kebersamaan yang penuh harmoni dalam bingkai kasih sayang antara manusia dan mainan kesayangannya.
****
Garis lurus, garis bengkok, garis berputar, garis meliuk, garis melingkar, atau garis apapun. Nama itu begitu saja diberikan bapak nya yang kini telah tiada. Tapi dia selalu percaya namanya melambangkan sebentuk harapan akan sebuah mimpi besar dalam garis kehidupannya.
Kepercayaan Garis akan sebuah garis kehidupan yang menuntunnya menemukan sebuah mimpi besar memang tak pernah redup. Semangat yang luar biasa senantiasa mengalir dalam setiap aliran darahnya seiring dengan keberanian yang ikut berdetak dalam setiap denyut nadinya. Hidup adalah sebuah pilihan, hidup untuk memilih, memilih untuk hidup, hidup untuk dipilih, dan dipilih untuk hidup. Jika saja kita jeli, nyatanya memilih itu hanya sebuah perkara kecil, yang jauh lebih memegang peranan adalah memutuskan pilihan yang akan kita pilih.  Betapapun aku dan terlebih emak yang sudah menjadi bagian dari hidup Garis ini, begitu kecewa dengan keputusan yang dipilihnya.
Garis telah meliuk sangat dahsyat hingga kini terlihat abstrak.
Oleh: Apriani Yulianti