“Tik..tik...tik”
Malam
ini hujan lagi-lagi menyapa, tiap tetesnya seakan membersihkan debu-debu
jalanan yang menempel di aspal sejak tadi siang. Hawa dingin kian terasa
membalut atmosfer kehidupan dengan penuh gairah nakal.
Aku
pun ikut menggigil bersama suara halilintar yang menyambar-nyambar di luar
sana. Dinding-dinding papan yang sebagian sudah koyak ini, tentu saja tak mampu
memberi kehangatan bagi tubuh ku. Di malam-malam seperti ini rasa itu kembali
beranak-pinak menyesaki hatiku. Rasa itu begitu perih dan perlahan sudah mulai
menghambar di dadaku. Terlampau lama bersarang dan meninggalkan semburat luka
yang mendalam. Lantas aku pun hanya mampu terdiam dalam malam pekat berbalut
kehampaan.
Ibu
sudah sering menasihatiku dalam ketuaannya. Tubuh ringkih nya
tergoncang-goncang karena batuk yang tak kunjung sembuh, tapi dia tak pernah
bosan apalagi putus asa mengingatkanku. Aku bahkan sudah hafal setiap rangkaian
kata yang akan keluar dari mulut keriputnya setiap kali itu terjadi.
Aku
memang anak semata wayang, dan semenjak ayah meninggal tujuh tahun yang lalu,
aku tinggal berdua bersama ibu di rumah sederhana kami ini. Aku memang tak
sempat mengenyam bangku kuliah hingga ke pulau Jawa seperti sebagian
teman-teman SMA ku, tapi aku mampu mandiri menghidupi ibu dan diriku sendiri
dengan bekerja menambang timah seperti layaknya lelaki lain di Pulau Belitung
ini. Aku bukanlah anak yang tak terlalu pandai di sekolah dulu, tapi sebuah
faktor sentimentil serupa masalah keuanganlah yang menyebabkan aku tidak
melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Jadi lah aku seperti sekarang ini,
menjalani putaran waktu kehidupan di kampung kecil ini, menambang kekayaan alam
yang entah sampai kapan mampu menopang pundi-pundi perekonomian sebagian besar
penduduk di sini.
***
Siang
itu mendung masih menggelayut seperti sore tadi. Dengan tergesa-gesa aku
bergegas pulang ke rumah setelah lelah seharian ngelimbang. Setelah keluar hutan dan bertemu jalan aspal aku terus
memacu sepeda motor kesayangan ku ini. Sebentar lagi hujan akan turun pikirku.
Jalanan tampak lengang, walaupun biasanya memang tak selalu ramai. Maklumlah
ini adalah jalan menuju sebuah pantai, persawahan, daerah transmigrasi, dan
tentunya beberapa lokasi penambangan timah. Oleh karena itu, tentu saja tak
begitu ramai dilalui masyarakat yang hilir mudik.
Angin
berhembus merdu menerpa wajahku yang hitam legam. Sementara itu ilalang di kiri
kanan jalan tampak bergoyang-goyang begitu gemulainya. Aku terus berkendara
sambil menggendong ransel bututku yang setia menemani sejak SMA dulu, kini
isinya bukan lagi buku-buku pelajaran tentunya, tapi bekal yang selalu disiapkan ibu untuk
mengganjal perutku saat ngelimbang.
Beberapa saat kemudian aku sudah melewati beberapa rumah warga yang jaraknya
cukup berjauhan satu sama lain. Belakangan beberapa orang memutuskan untuk
membangun rumah di sekitar jalanan ini. Tak hanya rumah-rumah warga, tapi
beberapa toko kecil dan bangunan-bangunan semi permanen yang sekarang menjamur
di sini. Bangunan semi permanen itu bukan bangunan biasa, pasalnya bangunan itu
adalah semacam warung minuman dengan pekerja wanita yang di datangkan
pemiliknya dari luar pulau. Sebagian pekerja itu berasal dari Palembang dan
sebagian besar lainnya dari Jawa Barat. Keuntungan akan semakin besar jika
pekerja-pekerja itu dari luar pulau, orang akan semakin banyak berkunjung
begitulah menurut pemiliknya.
Di
saat tengah asyik berkendara, tiba-tiba saja mataku menangkap sesosok yang
tengah berbincang bersama seorang pria paruh baya di depan salah satu warung
minuman. Sosok itu mengenakan t-shirt abu-abu muda bermotif bunga-bunga merah
yang dipadu dengan celana jins selutut. Dari samping aku dapat melihat jelas
matanya yang bulat bersinar, alisnya yang hitam lebat, rambutnya yang dikuncir
ke belakang dan dibiarkan jatuh sedikit di bagian dahinya, serta senyumnya yang
membuat bibirnya mengembang penuh pesona. Seketika tubuhku bergetar hebat,
peluh yang memang sejak tadi bercucuran membasahi baju lusuhku kian banyak berjatuhan
lantas mengalir membasahi wajahku. Sosok itu seakan kembali menguapkan luka
lama beberapa tahun silam itu.
***
“Ayolah Euis, jika kau menginginkan kehidupan
yang layak, lebih baik ikut teteh saja bekerja di sana. Kau hanya tinggal
mengandalkan kepiawaian mu sebagai seorang wanita yang merupakan perayu ulung,
maka uang akan mengalir dengan sendirinya. Apalagi yang kau khawatirkan, di
sana ada banyak teman sekampung kita yang juga bekerja seperti teteh”
Kalimat
demi kalimat itu selalu terngiang memenuhi rongga otakku sejak petang itu di
serambi warung Bi Neneng.
Setelah
kurang lebih dua tahun bekerja di sana, Teh Ayu bisa rutin mengirim uang ke
rumah setiap bulan nya. Menurut perkiraan ku jumlah uang bulanan itu cukup
banyak, sehingga kini kedua orang tuanya telah berhenti bekerja menggarap sawah
milik seorang juragan besar. Tak hanya itu saja, Teh Ayu, Diana, Rima, dan yang
lainnya yang bekerja di sana setiap pulang kampung selalu fasih berkelakar
mengenai perjalanan mereka ke sana yang harus ditempuh dengan jalur udara itu.
Mereka selalu berceloteh asyik seakan-akan bekerja di sana betul-betul
menjanjikan. Aku pun hanya mengangguk-angguk pelan sambil sesekali tersenyum
kecil menimpali cerita-cerita mereka itu.
Seminggu
setelah pertemuan di warung Bi Neneng itu, aku akhirnya memutuskan untuk ikut
Teh Ayu yang akan kembali ke tempat kerjanya itu. Aku memutuskan untuk bekerja
di sana. Sepanjang perjalanan itu, aku hanya diam menahan perasaan sedih yang
menggenang di sanubariku. Aku sedih karena harus berpisah dengan ibu dan kedua
anakku, tapi aku juga bingung karena tak mampu membayangkan pekerjaan baru yang
akan aku geluti nanti.
Dan
ternyata cerita teman-teman sekampungku itu tak keliru walaupun tak sepenuhnya
benar. Tanpa terasa waktu terus melesat bagai desingan peluru. Sudah setengah
tahun aku di sini, terlempar jauh dari kampung halaman ku di Pulau Jawa sana,
bahkan bermimpi pun aku tak pernah bahwa akan mendapati diriku yang sekarang
bekerja di bagian kecil Pulau Sumatra ini. Setiap hari rupiah demi rupiah kudapatkan
dari tangan-tangan nakal yang legam dan bau apek itu. Menemani ngobrol dalam
peliknya masalah anak istri yang menjadi tanggung jawab, membantu melepas
penat, dan menguraikan sebuah kebersamaan yang ganjil. Sejauh ini semuanya baik-baik saja bagiku, lambat laun
tanpa ku sadari aku mulai menikmati pekerjaan ini. Tak peduli seperti apa
sorotan negatif dari orang-orang pribumi di kampung ini terhadapku. Terlebih
lagi ibu-ibu paruh baya, ibu-ibu muda, ibu-ibu dari ibu-ibu mereka yang selau
memandang kami dengan tatapan sinis. Bagiku ini hanyalah masalah posisi saja,
mereka tak sedang berada di posisiku dan aku tak di tengah posisi mereka.
Mereka
boleh saja mengeluhkan suaminya yang jarang pulang ke rumah, mereka sah-sah
saja mengomel karena uang belanja yang tersendat-sendat, mereka lumrah saja
menangisi perangai suaminya yang berdampak buruk bagi anak-anak mereka, tapi
bolehkah aku mengungkapkan sedikit saja. Bolehkah aku berkoar juga atas cobaan
bertubi-tubi yang menimpaku bahkan sejak masih dalam gendongan ibuku. Aku
memang tak pernah tahu seperti apa figur seorang ayah, sejak aku dilahirkan yang
kukenal hanyalah ibu. Aku tak pernah mau mencari tahu sebab musabab hal
tersebut. Aku tumbuh seperti kebanyakan gadis lain di kampung. Aku memang
sempat mengenyam pendidikan, tapi itupun hanya sampai lulus SD saja. Setelah
itu aku sebagai putri satu-satunya harus membantu ibu bekerja apa saja guna
mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jika boleh jujur semua itu memang aku lakukan
dengan terpaksa, keterpaksaan karena waktu bermainku harus terbagi dengan
pekerjaanku membantu ibu. Lantas masa remaja pun datang, masa yang kata
orang-orang adalah masa yang indah. Menginjak usia 15 tahun aku menikah dengan
seorang pemuda kampung tetangga yang lima tahun terpaut usia dari ku. Ibu tentu
saja memberi restu, tanpa perlu berpikir panjang ketika ada seorang pemuda yang
melamar putri semata wayangnya yang hanya tamatan SD ini. Maka hari-hari yang
indah pun menyambut masa-masa awal pernikahan kami. Bahkan tak perlu berselang
lama aku telah melahirkan dua orang anak dari rahim ini. Hidup memang tak
selamanya indah, meskipun bagiku memang tak pernah indah. Suamiku sekaligus
ayah dari anak-anakku berselingkuh dengan seorang janda kaya dari kecamatan. Hanya
karena janda sialan itulah ‘mantan’ suamiku itu tega menjatuhkan talak kepadaku
lantas pergi selamanya tanpa mau tahu betapa kejamnya kenyataan hidup yang
harus aku hadapi bersama kedua buah hati kecilku. Kedua buah hati ku itulah
yang menjadi sumber kekuatanku untuk tetap bertahan bekerja di sini. Kini ibu
sesekali memberi kabar dari rumah, mengabarkan si sulung yang semakin rajin
belajar dan adiknya yang telah mampu berceloteh satu dua patah kata. Sungguh
bahagia sekali hatiku mendengar semua itu, meskipun sesungguhnya aku merasakan
kekosongan yang teramat sangat membuncah di jiwaku. Aku pun tak pernah paham
apakah gerangan itu.
Sejatinya
aku memang hanya lah perempuan biasa yang jauh dari kesan istimewa. Tak ada
yang patut aku bangga kan dalam diriku, sekolah saja hanya sampai SD. Dalam
usia yang belia bahkan sudah menjadi janda dengan dua orang anak. Di saat
tengah sendiri aku selalu berpikir mengapa hidup ini harus selalu merasakan
kekecewaan dari seorang mahkluk bernama laki-laki. Diawali oleh ibuku yang tak pernah dinikahi secara resmi
oleh lelaki yang menanam benih di rahimnya. Ternyata takdir itu masih melekat
pada diriku, ku kira dengan memutuskan menikah aku akan merasakan kebahagiaan
dari lelaki yang dulu ku cintai itu. Tapi ketulusan yang dulu aku lihat jelas
di matanya, tak lebih dari sebuah kepalsuan semata. Perih sekali...
Kita
memang tidak akan pernah tahu episode kehidupan seperti apa yang akan menghampiri.
Meskipun terkadang kita selalu ingin menduga-duga. Apakah aku salah jika kini
bekerja di sini? Apakah aku perusak rumah tangga orang? Apakah aku perampas
kebahagiaan orang lain? Segalanya menjadi berbeda setelah aku mengenal dia,
termasuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Selama berada di sini aku telah
banyak bertemu dan mengenal lelaki pribumi kampung ini. Dari mulai para sopir
truk pengangkut pasir, sopir truk pengangkut batu, para pemuda pengangguran,
para bujang-bujang yang baru beranjak dewasa, para penambang timah
kecil-kecilan, hingga bos besar yang merupakan pengumpul timah dari penambang
kecil itu. Mereka membaur jadi satu di sini, tak ada yang peduli dengan status
sosial, asal minum tidak ngutang
bukan perkara. Tapi dia sungguh berbeda dari lelaki lainnya, sejak pertama kali
bertemu aku telah memutuskan bahwa dialah lelaki melayu paling tulus sejagad
raya. Jangan bandingkan dia dengan Parman si sopir truk itu, Parman jelas-jelas
berbeda. Apalagi dibandingkan dengan Wandi bos besar timah yang jelas-jelas
hobi menebar rayuan murahan tanpa sadar umur.
Telah
seminggu sejak pertama kali kami berjumpa. Aku benar-benar merasa seperti gadis
kembali, aku terkadang lupa jika statusku adalah janda dengan dua orang anak.
Aku benar-benar merasakan hal yang berbeda jika berada di dekatnya. Mungkin
sekarang adalah masa-masa remaja yang dulu telah kulewatkan dari episode
kehidupan ini. Dia benar-benar membuatku mampu mengartikan betapa indahnya
mencintai dan dicintai dengan tulus.
***
Sayup-sayup
di beranda depan kudengar lantunan merdu suara ibu yang tengah mengaji. Duduk
di beranda untuk melepas penat saat malam tiba adalah rutinitasku setelah dia
pergi untuk selama-lamanya. Sesekali aku menyeruput secangkir kopi yang ku
taruh di meja kayu di samping kursi. Sesekali pula tanganku dengan cekatan
menghalau nyamuk-nyamuk yang datang kelaparan. Seminggu pertama sejak
kepergianmu tanpa kusadari bulir-bulir bening hangat air mata selalu jatuh
membasahi pipiku. Aku memang kuat bekerja berpanas-panas ria bermandikan cahaya
matahari di siang yang terik, atau tanpa ragu membiarkan air hujan membasahi
sekujur tubuhku saat ngelimbang. Itu
tak soal, aku sudah sangat terbiasa sekali. Tapi ketika malam itu semuanya
terjadi. Aku hanyalah sesosok bujang melayu yang rapuh, tak lebih. Malam itu
masih terekam jelas dalam ingatanku, ketika dengan tergesa-gesa pak cik mu mendatangi rumah ku. Di
tengah guyuran hujan beliau datang untuk mengabarkan kau yang baru saja
menghembuskan nafas terakhir karena kecelakaan di pertigaan pasar, tepat di depan
warung kopi Aliong. Petir yang menyambar-nyambar seakan tahu isyarat hatiku
malam itu. Alam memang selalu piawai menerjemahkan sekitarnya. Lantas mengapa
kau begitu tega meninggalkan ku sendiri? Bukankah kita sudah merencanakan
pernikahan bulan depan? Bukankah kita sudah memesan baju pengantin dan dekorasi
pelaminan pada mak inang? Bukankah
kita sudah merencanakan ingin punya anak kembar? Oh... dan nama-nama untuk si
kembar pun sudah kau siapkan? Kita sudah berjanji untuk selalu bersama-sama?
Lantas mengapa kau pergi? Bagaimana dengan janji-janji dan mimpi kita? Mengapa
kau begitu tega membiarkanku menangis pilu di atas pusara mu?
“Ahh...Santi...”
tanpa sadar aku mendesah pelan
Semenjak
kau pergi aku tak lagi merasa berjalan dengan kedua kaki ku. Aku selalu merasa
tak seimbang karena berjalan dengan satu kaki layaknya orang pincang. Separuh
jiwaku telah melayang bersama ragamu yang menyatu dengan tanah sejak saat itu. Tapi
setelah sekian lama, malam ini aku merenung dan menyadari bahwa ada yang
berbeda dalam diriku sejak bertemu wanita itu. Wanita yang kulihat untuk
pertama kalinya saat pulang ngelimbang.
“Tahukah
kau santi? Matanya sama seperti matamu. Aku bahkan tak percaya saat menyadari
hal itu. Tak hanya itu, tawanya yang lepas juga selalu mengingatkanku akan
tawamu. Dia begitu mirip denganmu. Dia adalah rupamu yang kembali untuk
mengembalikan semangatku. Aku tahu kau akan senang jika melihatku tak lagi
bersedih bukan? Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangimu. Istirahatlah
dengan tenang di sana dek, abang sudah menemukan kau kembali di sini”
Tiba-tiba
tanpa aku sadari ibu sudah duduk di kursi sebelahku. Beliau menatap takzim ke
jalan raya yang cukup ramai dipenuhi kendaraan malam ini.
“Umak kenapa keluar? Udara di luar cukup
dingin, nanti Umak masuk angin”
“Aduh..Pandi
jangan terlalu berlebihan. Walaupun sudah tua, Umak mu ini masih
cukup
kuat”
“Mak
bolehkah aku mengajaknya kemari? Aku ingin dia bertemu langsung dengan Umak.
Aku
rasa sudah waktunya, aku tidak ingin berlama-lama lagi membujang”
“Apakah
kau yakin dengan apa yang kau katakan itu?”
“Tentu
saja aku yakin mak. Aku sudah memantapkan hatiku, tinggal menunggu restu dan
izin
dari Umak saja”
“Pandi,
sebetulnya umak senang sekali melihat
kau kembali bersemangat belakangan ini. Kau
seakan
sudah kembali menemukan gairah hidup semenjak kepergian Santi. Tapi Umak tidak
habis
pikir mengapa pilihanmu harus wanita yang bekerja di tempat itu. Bukankah kau
sudah tahu, orang-orang di sini punya
pandangan yang sangat negatif dengan wanita-wanita
pendatang yang bekerja di situ. Umak hanya menginginkan kau mendapatkan
pendamping
hidup yang baik ”
“Jadi
menurut Umak wanita pilihanku ini
bukan orang baik-baik?”
“Umak tidak berkata seperti itu. Kau
sekarang sudah dewasa. Kau tentu paham bagaimana
seharusnya
menjalani hidup ini. Lupakah kau bahwa wanita itu orang Sunda? Apakah kau
tidak
ingat dengan nasib Pak cik mu yang
menikah dengan orang Sunda, lantas sekarang
istrinya
yang mengendalikan kehidupan dia sepenuhnya. Terlebih lagi masalah keuangan,
dia tak
pernah sepeser pun menghabiskan gajinya untuk keperluannya sendiri. Kasihan
betul
Pak cik mu itu”
“Tapi
kan sekarang tentu semuanya sudah berbeda, mak. Hanya karena mak cik yang
perangainya seperti itu dan dia orang sunda,
maka umak semudah itu menilai Euis?”
“Yah,,
kau betul sekali anakku. Perangai Mak cik
mu itu bukanlah satu-satunya alasan umak.
Tapi coba kau tengok si Amri anak Fatimah,
setelah menikahi wanita yang dulunya bekerja
di tempat itu, nampaknya dia semakin susah saja.
Istrinya itu hanya tahu memeras keringat
Amri semata, tapi tak telaten mengurus suami
sendiri. Lagipula kau itu bujang melayu yang
tampan, tak ubahnya seperti ayah mu. Kau
pikirkan lah lagi perkataan umak.”
***
“Aduh
Bang, pedas sekali gangan buatan umak abang ini” Euis berujar sambil mengerjap-
ngerjap menahan rasa pedas.
“Justru
kalau tidak pedas, itu bukan gangan
namanya dek. Orang melayu itu memang suka
masakan yang pedas. Kalau orang sunda mungkin
suka yang manis, karena orangnya
memang manis-manis seperti yang duduk di
samping abang sekarang. Nanti kau harus
belajar masak gangan buat abang.” Aku
menimpali sembari tersenyum kecil.
“Ahh...dasar
tukang merayu. Bang, apa abang tidak malu berencana menikah dengan
perempuan seperti ku ini?”
Aku memperbaiki posisi duduk ku dan
menatapnya “ Malu? Malu yang seperti apa dek?
Kau ini ada-ada saja, kenapa aku harus malu
menikah dengan wanita yang punya pendirian
kuat dan berani bertanggung jawab bahkan
bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk hidup
orang lain yang membuat nya merasa hidup.”
“Bang
nanti setelah menikah Euis akan patuh ikut abang, Euis akan rela jika harus
tetap
tinggal di Belitung”
“Iya,
abang juga sudah mempertimbangkan hal itu. Memang lebih baik kita tetap tinggal
di
Belitung dulu, suatu waktu kalau ada rezeki
lebih barulah kita mengunjungi ibu dan
Anakmu. Hidup di Belitung itu enak Euis,
aman, nyaman, dan tenteram. Kaum pendatang
selalu suka menetap dan membuka usaha di
sini.”
Beginilah
kami belakangan, sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Menggenapi
hari-hari dengan tawa dan canda. Seperti siang ini, kembali berkelakar
dipayungi nyiur yang melambai-lambai tertiup angin pantai. Tiba-tiba Euis
mengeluarkan dompet dari sakunya, lantas mengambil secarik foto usang yang
nampaknya sudah di simpan begitu lama oleh pemiliknya.
“Bang
ini foto bapak ku, aku memang tidak pernah melihatnya secara langsung sejak
kecil
selain dari foto lama yang aku minta paksa
dari ibu ini. Aku ingin Abang melihatnya saja,
bukan kah kita berencana menikah? Aku rasa
tidak ada salahnya abang melihat foto bapak.”
Aku
lantas menerima foto tersebut dan melihatnya. Wajahku memerah seketika, degup
jantungku tak beraturan setelahnya, pikiran ku kacau balau tak mampu menalikan
semua ini. Pria dalam foto itu sungguh tak asing bagiku.
***
EPILOG
Senja
ini masih sama selayaknya hari-hari kemarin, jalanan yang kulalui pulang ngelimbang juga masih seperti biasanya,
motor yang selalu setia menemani putaran kisah hidupku juga masih yang dulu,
bahkan aku masih seorang bujang melayu yang masih menanti sesuatu bernama
“cinta sejati”.
Kebakaran
itu begitu dahsyat, sedahsyat luapan emosi sekumpulan ibu-ibu yang menyulutkan
si jago merah malam itu. Sudah sejak lama tuntutan mereka untuk menghapuskan
izin warung-warung minuman itu di anggap angin semusim saja oleh pemda. Mereka
merasa tak ada hal lain yang menjadi perihal suami mereka yang semakin jarang
pulang ke rumah dan memberi nafkah, selain bangunan-bangunan semi permanen itu.
Begitu cepat api menghanguskan bangunan itu tanpa ampun, tak terkecuali
beberapa nyawa malang di dalamnya termasuk kamu.
“Santi
jagalah Euis demi abang di sana, jagalah adik perempuan abang satu-satunya itu.
Dia sungguh wanita yang baik dan berhati mulia. Dia memang selalu diperlakukan
tidak adil oleh takdir dunia, bahkan hingga ajal menjemput. Cinta sejatinya pun
harus jatuh kepada orang yang keliru, hanya karena takdir di masa lalu yang
diperbuat bapaknya yang juga ayahku. Ahh...dunia memang terlalu luas, bahkan
teramat luas. Meskipun tak jarang terasa sempit dan pengap bagi orang-orang
seperti kami, seperti aku dan Euis.”
Keterangan
:
Gangan : Masakan
khas dari pulau Belitung semacam gulai yang berwarna
kuning.
Mak
cik : Saudara perempuan dari ayah atau ibu / bibi
Mak
Inang : Juru rias pengantin
Ngelimbang : Menambang timah
dengan cara manual dan tradisional, biasanya
menggunakan alat semacam kuali
bekas.
Ngutang : Berutang
Pak
cik : Saudara laki-laki dari ayah atau ibu /
paman
Umak : Ibu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar