Kulitnya
hitam manis, semanis gulali yang selalu mempunyai daya magnetis bagi
serombongan semut. Bibirnya kecil mungil tipis hingga begitu kontras dengan
sebentuk wajah oval yang menyertai. Ikal bergelombang itulah rambutnya, namun
warnanya hitam kekuning-kuningan karena pengaruh buruk sinar ultarviolet. Gerakannya
lincah seakan menggoda atau membuat gemas yang melihatnya. Dan namanya garis.
Garis lurus, garis bengkok, garis berputar, garis meliuk, garis melingkar, atau
garis apapun. Nama itu begitu saja diberikan bapaknya yang kini telah tiada.
Tapi dia selalu percaya namanya melambangkan sebentuk harapan akan sebuah mimpi
besar dalam garis kehidupannya.
****
Sudah
setengah hari kami berkeliling, berpindah-pindah dari satu angkot ke angkot
lainnya, mengumpulkan keping-keping receh sebagai balasan dari hiburan yang
kami sajikan kepada para penumpang di dalam angkot. Hiburan? Garis selalu saja
menyebutnya seperti itu, padahal menurutku terkadang kami malah membuat risih
para penumpang angkot bukannya menghibur mereka. Lagipula pada hakikatnya kami
hanya melantunkan syair-syair dalam balutan sebuah nada yang diiringi pentingan
gitar asal-asalan oleh jemari Garis. Untung saja suara Garis memang merdu
sehingga mampu mengurangi kekacauan bunyi pentingan gitarnya. Setelah selesai bernyanyi maka kami akan
mengedarkan bungkus permen kumal itu ke seluruh penjuru angkot demi
mengharapkan mereka tengah berbaik hati dan rela memberikan kepingan-kepingan
receh untuk kami. Begitulah semuanya berjalan berulang-ulang sejak matahari
terbit hingga kembali lagi tenggelam di singgasananya.
Terkadang
dalam sehari kami bisa mendapatkan uang yang lumayan sehingga pulangnya kami
bisa membelikan emak sekotak martabak dan sisanya ditabung untuk biaya berobat
beliau. Namun tak jarang uang yang
dengan susah payah kami kumpulkan seharian hanya cukup untuk mengganjal perut
dengan sebungkus nasi plus lauk tempe dan tahu saja. Atau jika sedang
benar-benar tidak beruntung kami tak mendapat uang sepeserpun, berangkat dengan
penuh semangat dan pulang tanpa gairah sama sekali. Hal itu bisa saja
terjadi karena berbagai faktor, misalnya
saja Garis yang sedang sakit tapi memaksakan diri berangkat mengamen. Biasanya
kalau sudah seperti itu kami akan mengamen setengah hari dan pulang dengan
tangan kosong. Jika keadaannya sudah begitu, aku akan mengomel di dalam hati.
Aku akan merutuki Garis yang keras kepala, tidak mau istirahat di rumah saja
hingga sembuh barulah kembali mengamen. Yah, Garis memang keras kepala. Dia tak
pernah sekalipun ingin absen mengamen. Baginya sehari saja tidak berangkat
mengamen maka kami sudah melakukan sebuah kesia-siaan.
“Hidup
itu harus berusaha, bahkan berusaha keras. Kalau kita tidak berangkat mengamen
berarti kita sama sekali tidak berusaha. Meskipun tidak akan ada hasilnya, tapi
aku sudah berusaha semampuku. Kau tahu kepuasan hidup itu adalah ketika kita
bisa memaksimalkan segala kemampuan dalam diri kita untuk berusaha.”
Aku
sudah hafal celotehan Garis yang seperti itu. Aku pun akan menanggapinya dengan
tersenyum kecut. Kata-katanya itu bagiku
sedikit sok tahu dan sok bijak, padahal dia kan baru berumur sebelas tahun.
Huh...
Garis
memang tumbuh berbeda dari kebanyakan anak perempuan seusianya. Dia adalah anak
yang cerdas, sejak kecil dia selalu bertanya ini itu kepada bapak atau emak.
Rasa penasaran seakan selalu menyala-nyala di kedua bola matanya. Kecerdasannya
kian terbukti saat masuk Sekolah Dasar, emak dibuatnya menangis haru ketika
pembagian rapor pertama kali karena dia berhasil menjadi juara pertama di
kelas. Hingga kelas enam Garis selalu menjadi juara di kelasnya, tapi
kecerdasan Garis tiba-tiba terabaikan begitu saja ketika bapak meninggal dan
itu berarti Garis putus sekolah. Emak sudah cukup lama menderita asma sehingga
harus banyak istirahat di rumah dan tidak boleh terlalu lelah bekerja, maka sebagai
anak satu-satunya Garis lah yang kini menjadi tulang punggung keluarga.
****
Senja
begitu temaram seakan menyimpan sebuah misteri yang membuncah di dalamnya. Di
atas sana mendung tampak menggelayut manja, pertanda bahwa hujan akan turun
sebentar lagi. Sesekali terdengar bunyi gemuruh bersahut-sahutan memecah belah
kesunyian. Namun itu semua tak dipedulikan Garis, semua itu tak sedikitpun
menyurutkan langkahnya untuk mampir dulu ke rumah Bu Anita sebelum pulang ke
rumah. Aku untuk yang kesekian kalinya kembali merutuki tingkah garis di dalam
hati. Bu Anita adalah seorang guru yang mempunyai perpustakaan gratis di
rumahnya. Semenjak putus sekolah Garis selalu rutin ke rumah Bu Anita untuk memuaskan
berbagai dahaganya dalam belajar. Banyak hal yang sering dilakukan Garis di
sana, seperti meminjam buku, berdiskusi banyak hal dengan beliau, atau belajar
banyak hal untuk mengejar ketinggalannya. Bu Anita selalu senang setiap Garis
datang, beliau tahu bahwa Garis adalah anak yang cerdas. Setiap hal yang
dijelaskannya kepada Garis akan begitu cepat dipahami oleh Garis.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Garis selalu mengisyaratkan betapa besar
rasa keingintahuan anak itu.
****
Malam
ini kami bertiga duduk mengitari meja makan kayu yang terletak di dapur.
Semenjak bapak meninggal dan penyakit asma emak semakin menuntutnya banyak
istirahat, meja makan ini jarang kami gunakan untuk makan bersama-sama.
“Alhamdulillah
hari ini ada rezeki dari Allah, katanya bu RT tadi sore syukuran keberangkatan
anaknya mau kuliah ke luar negeri dapat tunjangan dari pemerintah itu loh. Jadi
ya bagi-bagi makanan ini ke warga sini” Emak
berujar sambil tersenyum
“Mungkin
maksud Emak tunjangan itu adalah beasiswa. Karena mbak Ayu, anak bu RT itu
berprestasi makanya dia berhak mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri.
Beruntung sekali ya mak, mbak Ayu itu” Garis menimpali dan tatapannya
menerawang jauh
“Iya,
kita doakan saja semoga kuliahnya lancar. Tapi bukan berarti kau tidak
beruntung nak. Kau memang harus berhenti sekolah semenjak bapak meninggal, kau
memang tak bisa lagi mewujudkan mimpimu untuk terus sekolah hingga menjadi
orang pintar, orang terpelajar. Tapi emak tak pernah melihat semangat di matamu
padam sekejap pun, kau punya semangat yang luar biasa, kau selalu membuat emak
bangga”
“Emak
terlalu berlebihan, Garis tidak akan jadi diri Garis yang sekarang tanpa
seorang emak yang lebih luar biasa”
“Dasar
kau ini, ya sudah ayo kita makan. Jangan lupa baca doa dulu”
Rinai
hujan terus membasahi setiap sudut di muka bumi seakan memayungi makan malam
kali ini. Udara yang lembab seperti menguapkan kehangatan di tengah-tengah
keluarga kecil kami. Bahagia itu memang sederhana, bahkan teramat sederhana
karena akan nyata rasanya kala bersama dengan orang-orang yang kita sayangi.
****
Waktu
terus berputar bagai desingan peluru kian berpacu tanpa mengenal jeda sama
sekali. Kehidupan terus bergulir meninggalkan
beragam rekam jejak serupa lukisan-lukisan yang tertoreh di atas kanvas. Malam
ini aku merenung, malam ini aku sendiri. Sesekali terdengar suara merdu emak
yang tengah mengaji di kamarnya. Tanpa sadar bulir-bulir hangat air mata
menetes di pipiku. Aku marah, aku benci, tapi tak tahu harus pada siapa
melampiaskan semua itu.
Beberapa
saat kemudian lamat-lamat ku dengar langkah emak menuju kemari. Secepat mungkin
aku menghapus air mata yang telah membasahi kedua pipiku, emak tak boleh tahu
aku tengah menangis. Beliau menghampiriku membawa aku duduk di pangkuannya.
Malam semakin larut, tapi aku tahu emak belum mengantuk sama sekali. Semenjak
hari itu emak memang selalu seperti ini, banyak menghabiskan waktunya dengan
duduk di kursi ini menghadap ke jendela lantas menanti sesuatu yang tak kunjung
kembali. Semenjak hari itu pula lah jika tengah sendirian aku selalu menangis
karena sesuatu yang dinantikan emak juga aku nantikan, tapi nyatanya masih
tetap saja tak kembali.
Peristiwa
yang mengawali segala penantian kami ini masih terekam jelas dalam benakku.
Ketika itu Garis telah berusia tiga belas tahun, dia telah beranjak remaja,
tinggi badannya telah bertambah, rambutnya selalu dikuncir rapi tak lagi
dibiarkan tergerai seenaknya, permainan gitar Garis juga mengalami kemajuan
yang pesat karena proses belajar autodidak
yang dilakukannya di sela-sela istirahat mengamen, dan satu hal yang
ternyata baru kusadari adalah Garis telah menjelma menjadi seorang gadis yang
manis.
Kala
itu seperti biasanya kami tengah mengamen di sebuah angkot. Ketika sudah
selesai kami bergegas melompat turun dari angkot tersebut, tapi belum jauh
melangkah tiba-tiba saja ada yang mengejar kami dan memanggil-manggil Garis.
Setelah aku amati orang itu adalah salah satu penumpang yang berada di dalam
angkot tadi. Seorang pria berkulit putih berumur sekitar tiga puluh tahunan
mengenakan pakaian rapi seperti pekerja kantoran menghampiri kami. Dia lah yang
belakangan ku ketahui bernama Ryan, Garis memanggilnya om Ryan. Om Ryan memang
orang yang pintar berkomunikasi, setiap rangkaian kata yang keluar dari mulutnya
seakan mempunyai daya tarik tersendiri bagi lawan bicaranya. Om Ryan mengatakan bahwa dia sangat terkesan
dengan suara merdu Garis yang khas ketika mengamen di angkot. Dia juga merasa
permainan gitar Garis yang hanya hasil belajar autodidak itu sungguh luar biasa, ada bakat besar dalam diri Garis.
Om Ryan menyatakan bahwa dia bekerja di salah satu perusahaan rekaman di kota
ini, oleh karena itu tentu saja dia bisa membantu Garis untuk menjadi seorang
penyanyi terkenal. Sejak saat itu lah om Ryan menjadi dekat dengan Garis,
sesekali bahkan mampir ke rumah di malam hari dengan membawa makanan untuk
emak.
Akhirnya
semua seperti sekarang ini. Garis pergi, meskipun sejak awal emak memang
keberatan jika Garis menerima peluang yang ditawarkan om Ryan untuk menjadi
penyanyi. Garis telah memilih dan dia tengah menjalani pilihannya itu sekarang.
Mungkin om Ryan memang betul-betul berjasa telah menawarkan peluang itu kepada
Garis, lihatlah Garis kini telah
menjelma menjadi salah satu penyanyi terkenal yang diidolakan para remaja.
Hampir setiap hari wajah manisnya menghiasi tayangan televisi. Bahkan di
perempatan jalan raya sana terdapat sebuah baliho besar iklan salah satu merk handphone dengan Garis sebagai modelnya.
Garis
tetaplah Garis, meskipun ia bengkok tak selalu lurus dan sesekali meliuk. Sejak
sukses menjadi seorang artis dia memang tak pernah pulang ke rumah, tapi dia
rutin mengirim uang untuk emak. Bahkan suatu kali Garis pernah mengirimkan selembar kertas yang bertuliskan jumlah uang
dalam jumlah yang fantastis, bersama selembar kertas itu dia juga mengirimi
emak surat. Dalam surat itu Garis meminta emak mengobati asma nya dengan
intensif di rumah sakit terbaik di kota ini, dari surat itu lah emak tahu bahwa
selembar kertas itu adalah sebuah cek yang
sengaja dikirimkan Garis untuk biaya pengobatan emak. Tapi toh emak tak
melakukan pengobatan itu, bahkan semua uang yang dikirim Garis setelah pergi
dari rumah disimpan begitu saja oleh emak di lemari reyotnya. Sehari-hari emak
lebih senang mencukupi kebutuhannya dengan menggunakan uang tabungan Garis saat
masih mengamen dulu, meskipun itu jauh dari cukup.
Emak
masih diam dan menerawang jauh ke luar jendela. Kedua tangan keriputnya
memelukku dalam pangkuannya. Tiba-tiba aku merasakan ada titik-titik air
membasahi kepalaku, benar saja ternyata emak tengah menangis. Betapapun
perihnya semenjak kepergian Garis, emak belum pernah sekalipun menangis. Beliau
lebih banyak diam dan memendam kesedihannya di dalam hati, tapi malam ini Garis
berulang tahun yang ke tujuh belas. Aku mengerti emak tak mampu lagi menahan
kesedihan yang telah beranak-pinak di dalam hatinya selama ini, emak rindu
Garis, emak ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada Garis lantas mengecup
keningnya.
Tapi
aku hanya bisa terus diam tanpa gerak. Karena memang seperti itulah hakikat
diriku sesungguhnya. Aku hanya bisa berbicara, menggerutu, tertawa, tersenyum,
marah, dan menangis dalam dimensiku. Selama ini aku memang selalu setia
mengikuti Garis kemanapun dia pergi. Ketika mengamen aku selalu ada di dalam
tas lusuhnya dan menyembulkan sedikit wajah ku ke luar karena kancing tas yang
rusak dan tak bisa lagi ditutup. Ketika istirahat mengamen aku duduk di
pangkuan Garis menemaninya melahap nasi bungkus sambil sesekali mendengarkan
celotehannya tentang berbagai hal. Jika celotehannya lucu dan mengundang tawa,
maka aku akan terbahak-bahak merespon dalam dimensiku. Sebaliknya ketika sedang
ada masalah dan Garis bercerita dengan murung, maka aku akan ikut menunduk dan
ikut merasakan kesedihannya tentu saja dalam dimensiku.
Tujuh
belas tahun yang lalu ketika tahu istrinya melahirkan anak perempuan, dengan
penuh sukacita bapak mampir ke toko mainan sepulang kerja. Pilihannya jatuh
kepada sebuah boneka perempuan bergaun pink muda berambut coklat ikal dikepang
dua. Maka sejak hari itu boneka tersebut selalu berada di samping si bayi
perempuan, menemaninya dengan setia. Kesetiaan yang terus terjaga seiring
putaran episode kehidupan. Selalu bersama, saling menjaga dan menyayangi satu
sama lain. Bayi perempuan itu adalah Garis, dan boneka bergaun pink muda itu
tentu saja aku. Aku dan Garis, Garis dan aku adalah salah satu dari sekian
banyak kisah kebersamaan yang penuh harmoni dalam bingkai kasih sayang antara
manusia dan mainan kesayangannya.
****
Garis
lurus, garis bengkok, garis berputar, garis meliuk, garis melingkar, atau garis
apapun. Nama itu begitu saja diberikan bapak nya yang kini telah tiada. Tapi
dia selalu percaya namanya melambangkan sebentuk harapan akan sebuah mimpi
besar dalam garis kehidupannya.
Kepercayaan
Garis akan sebuah garis kehidupan yang menuntunnya menemukan sebuah mimpi besar
memang tak pernah redup. Semangat yang luar biasa senantiasa mengalir dalam
setiap aliran darahnya seiring dengan keberanian yang ikut berdetak dalam
setiap denyut nadinya. Hidup adalah sebuah pilihan, hidup untuk memilih,
memilih untuk hidup, hidup untuk dipilih, dan dipilih untuk hidup. Jika saja
kita jeli, nyatanya memilih itu hanya sebuah perkara kecil, yang jauh lebih
memegang peranan adalah memutuskan pilihan yang akan kita pilih. Betapapun aku dan terlebih emak yang sudah
menjadi bagian dari hidup Garis ini, begitu kecewa dengan keputusan yang
dipilihnya.
Garis
telah meliuk sangat dahsyat hingga kini terlihat abstrak.
Oleh: Apriani Yulianti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar