Benda Mati sebagai Metafor Kehidupan pada Puisi Sepasang Sepatu Tua Karya Sapardi Djoko Damono1
Oleh :
Apriani Yulianti2
ABSTRAK. Sastra pada umumnya berarti segala sesuatu yangs tertulis atau pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana kepuitisan. Tanda-tanda dalam puisi tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Atas dasar luasnya gejala-gejala yang ditimbulkan dalam puisi itulah maka lahir teori pengkajian semiotik.
Kata kunci : sastra, puisi, pengkajian semiotik,tanda.
Pendahuluan
Dalam bahasa Indonesia kata sastra itu berasal dari bahasa sansekerta, yaitu akar kata sas dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau instruksi. Akhiran tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Oleh sebab itu, sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi, atau pengajaran. Sastra pada umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis atau pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Ini berarti bahwa bahasa yang dipakai sebagai sarana primer sastra dalah bahasa tulis. Bahasa merupakan medium utama dari karya sastra. Bahasa sebagai ujaran yang dihasilkan dari alat ucap manusia mengandung suatu kekuatan tanda di dalamnya. Kekuatan tanda itu muncul dari hubungan tanda dengan tanda (sintaksis), hubungan tanda dengan maknanya (semantik), dan hubungan tanda dengan pengguna (pragmatik).
Berdasarkan ketiga aspek hubungan tanda di atas maka kita mengenal adanya pengkajian semiotik dalam karya sastra. Membicarakan semiotika tidak akan lepas dari dua tokoh yang cukup berpengaruh terhadap kemunculan dan perkembangan ilmu ini.
1 Laporan ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik dalam menempuh perkuliahan dan sebagai tugas pengganti ujian akhir semester mata kuliah kajian puisi Indonesia yang diampu oleh Drs. H. Ma’mur Saadie, M.Pd dan Rudi Adi Nogroho, M.Pd
2 Penulis adalah mahasiswa Prodi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program sarjana UPI Angkatan 2009 dengan NIM 0900237
Adapun semotik berkembang dengan masing-masing tokoh yang dimilikinya. Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah pengembang bidang ini di Eropa, dia memperkenalkannya dengan istilah semiologi. sedangkan Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang mengembangkannya di Amerika dengan menggunakan istilah semiotik.
Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan pendekatan semiotik. Ada sedikit perbedaan yang dimunculkan dari kedua tokoh tersebut mengenai pendekatan mereka dengan menggunakan semiotic. Peirce lebih menekankan pada aspek logika karena dia adalah seorang ahli filsafat. Sedangkan Saussure lebih menekankan pada aspek bahasa karena sesuai dengan keahliannya di bidang linguistik.
Dalam pandangan semiotik, Saussure memandang; bahasa merupakan suatu sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Pengertian tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno. (Masinambow 2002: iii). Dengan demikian tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi. Banyak disiplin yang menggunakan konsep ini diantaranya adalah; antropologi, arkeologi, arsitektur, filsafat, kesusastraan, dan linguistik. Hal ini berarti bahwa sebagai sistem teoritis yang mengkaji makna dapat ditampung berbagai perspektif makna yang berkembang dalam penelitian setiap disiplin. Dalam semiotik makna didefinisikan secara erat dengan tanda, namun hubungan antar makna dan tanda dikonseptualkan secara berbeda jika pendirian teoritis berbeda.
Puisi dalah salah satu jenis atau genre sastra. Sebagai salah satu karya seni sastra, puisi dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi itu suatu artefak yang baru mempunyai makna bili diberi makna oleh pembaca. Akan tetapi pemberian makna itu tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan atau dalam kerangka semiotik (ilmu atau sistem tanda) karena karya sastra itu merupakan sistem tanda atau semiotik.
Seperti yang didituliskan dalam kumpulan makalah semiotik, Okke K. S. Zaimar menjelaskan bahwa karya sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua karena menggunakan bahasa sebagai bahan dasarnya. Karena itulah menganalisis dengan pendekatan semiotik menggunakan teori-teori yang bersumber pada linguistik.(Okke.2002:124).Meskipun pada dasarnya teori bahasalah yang paling tepat dalam menganalisis sebuah karya sastra terutama puisi, menurutnya tidak menutup kemungkinan analisis ini menggunaan teori Peirce.
Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebut dengan representamen--- haruslah mengacu pada atau mewakili sesuatu yang disebutnya sebagai objek yang dikenal dengan istilah referent. Jadi, jika sebuah tanda mengacu apa yang diwakilinya, hal itu dalah fungsi utama tanda tersebut. Misalnya, anggukan kepala sebagai tanda persetujuan, dan geleng kepala sebagai tanda ketidaksetujuan. Proses perwakilan ini disebut dengan semiosis. Adapun proses semiosis menuntut kehadiran bersama antara tanda, objek dan intepretant. Proses semiotik dapat terjadi secara terus-menerus sehingga sebuah intepretant menghasilkan tanda baru yang mewakili objek yang baru pula dan akan menghasilakan intepretant yang lain lagi. (Nurgiantoro.2002: 41).
Selanjutnya Peirce menambahkan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis tanda; (1) Icon, merupakan hubungan kemiripan. Misalnya foto. Lalu (2) Indeks, merupakan hubungan kedekatan eksistensi. Misalanya asap hitam tebal membumbung sebagai tanda adanya kebakaran. Dan yang terakhir adalah (3) Simbol, merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Warna hitam di negara kita disepakati sebagai warna yang melambangkan kedukaan dan hal yang mistis. Sedangkan putih adalah warna yang melambangkan kesucian dan ketulusan. Dan bahasalah yang kemudian menjadi alat penyebutannya. (Nurgiantoro.2002: 42).
Dalam teks sastra ketiga jenis tanda tersebut di atas, kehadirannya kadang tidak dapat dipisahkan. Karena ketiga tanda itu sama pentingnya dalam teks yang memang menggunakan bahasa sebagai alat penyampaiannya.
Pada kesempatan kali ini penulis akan melakukan pengkajian semiotik pada puisi “Sepasang Sepatu Tua” karya Sapardi Djoko Damono.
SEPASANG SEPATU TUA
sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang
berdebu,
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu
yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa
sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua
1973
Kajian Teori
Puisi sepasang sepatu tua ini cukup pendek. Tipografi atau perwajahan puisi ini terbilang unik, karena awal kalimat tidak diawali dengan huruf kapital dan akhir kalimat tidak terdapat tanda titik, hanya terdapat beberapa tanda koma sebagai jeda antar kalimat. Selain itu puisi ini tidak tersusun atas bait-bait seperti puisi pada umunya, tetapi lebih berbentuk seperti narasi dengan pengaturan baris yang tidak rata kanan dan kiri. Hal inilah yang dapat melahirkan interpretasi yang luas untuk memaknai puisi ini.
Kalimat pertama yaitu, sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang berdebu, kalimat ini menjelaskan bahwa sepasang sepatu yang sudah tua atau usang tergeletak begitui saja di sudut sebuah gudang yang berdebu. Kalimat kedua yaitu, yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu,, kalimat ini menggambarkan apa yang ada di benak sepasang sepatu tua itu tentang sesuatu yang pernah mereka jumpai atau lalui. Sepatu yang kiri terkenang akan aspal yang meleleh, sementara yang kanan teringat akan jalanan berlumpur sehabis hujan. Selanjutnya digambarkan bahwa sepasang sepatu tua itu telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki yang pernah memakai mereka. Kalimat ketiga yaitu, yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa. Kalimat ini menggambarkan pikiran sepasang sepatu tua itu tentang apa yang akan menimpa mereka berdua karena usia mereka yang sudah tua. Sepatu kiri menerka jika besok mereka dibawa ke tempat sampah, lalu dibakar bersama seberkas surat cinta. Sementara itu sepatu sebelah kanan mengira jika besok mereka diangkut oleh truk sampah, lalu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa. Kalimat terakhir yaitu, sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua, kalimat ini menjelaskan bahwa sepasang sepatu tua itu saling berbincang-bincang dan berbisik mengenai sesuatu yang hanya mereka pahami berdua.
Ada dua jenis bunyi akhiran asonansi pada puisi ini, yaitu asonansi : u dan a. Pada kalimat pertama dan kedua terdapat bunyi akhiran asonansi u pada kata berdebu dan itu. Pada kalimat ketiga dan keempat terdapat bunyi akhiran asonansi a pada kata sisa dan berdua. Hal ini kian menambah keunikan dan unsur keindahan bunyi dalam puisi ini.
Bila kita melihat puisi ini kita akan menemukan beberapa gambaran tentang sepatu yang hubungannya dengan manusia. Untuk mengetahui makna dibalik hubungan tersebut, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai isotopi. Yang dimaksud dengan isotopi di sini adalah wilayah makna yang terbuka yang terdapat di sepanjang wacana. Isotopi adalah suatu bagian dalam pemahaman yang memungkinkan pesan apapun untuk dipahami sebagai suatu perlambangan yang utuh. Karena itu, dalam isotopilah makna mencapai keutuhannya. Dalam puisi ini terdapat tiga isotopi yang dominan, yaitu sebagai berikut :
Isotopi perbuatan :
· terkenang
· teringat
· Menerka
· Mengira
· saling membisikkan
Isotopi benda mati :
· sepasang sepatu tua
· tergeletak
Isotopi keadaan :
· tergeletak
· telah jatuh cinta
· dibakar
· dibiarkan
· membusuk
ketiga isotopi yang dominan di atas mendukung tiga motif. Yang dimaksud dengan motif adalah unsur yang terus menerus diulang dan beberapa motif dapat mendukung kehadiran tema. (Okke. 2002: 124). Jika kita melihat kelompok motif tersebut di atas, dapat dilihat isotopi yang menonjol adalah isotopi perbuatan yang disususul dengan isotopi benda mati dan isotopi keadaan. Menonjolnya isotopi perbuatan ini menunjukkan motif utama pada puisi ini adalah aktifitas pada beberapa sisi terutama mengenai kesetiaan manusia hendaklah mencontoh pada sepasang sepatu, jika kita melihat isotopi selanjutnya yaitu benda mati dan keadaan. Dengan demikian perbuatan mencontoh benda mati (dalam hal ini sepasang sepatu tua) adalah yang harus dilakukan oleh manusia dalam puisi ini. Artinya sepasang sepatu tua dijelaskan sebagai metafora kehidupan.
Kesimpulan
Akhirnya, berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa sepasang sepatu adalah metafor dari kehidupan yang dijalani manusia. Hal tersebut dapat disebut sebagai tema pertama. Kemudian telah dijelaskan pula aktifitas benda mati dalam hal ini sepasang sepatu tua, menyiratkan aktifitas tokoh yang ingin menirunya dan menjadikan sepasang sepatu tersebut sebagai simbol kesetiaan, rahasia dan bahkan kegetiran.
Adapun isotopi perbuatan yang hadir dominan dalam karya ini menunjukkan bahwa aktifitas semua benda mati menjadi sama halnya dengan aktifitas manusia yaitu, aktifitas untuk berpikir dan mengenang segala yang pernah dialaminya, aktifitas untuk merasakan kesedihan atasc nasibnya yang entah akan berujung seperti apa.. Hal ini seakan menyiratkan bahwa segala mahluk hidup yang ada di dunia ini termasuk manusia juga memiliki aktifitas yang boleh dikatakan sama yaitu dengan menggunakan perasaan, akal (insting pada hewan) dan juga kegiatan yang sesuai dengan caranya masing-masing. Aktifitas benda mati juga dapat dijadikan cerminan bagi kehidupan manusia, di mana mereka dengan kepasrahannya tunduk pada aturan dan takdir yang telah dituliskan.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko.1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT. Grasindo
Luxemburg, Jan Van.1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermassa
Pradopo, Rachmat Djoko.2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ratna, Nyoman Kutha.2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sardjono, Partini.1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Bandung: Pustaka Wina
ummi kultsum.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar