Kamis, 12 Februari 2015

Orang Terhebat di Dunia




Kehidupan adalah perjalanan yang panjang penuh tikungan tajam dan akan membuat kita jatuh bila tidak berhati-hati. Orang tuaku memberiku nama Herdi, seorang anak yang pendiam, keras kepala, dan tidak memperdulikan apapun atau bisa kita sebut egois. Hidupku selalu berkecukupan, tidak kurang satu apapun dan tidak terlalu manja kepada orang tuaku, tetapi inilah aku.
Aku sangat mencintai masa-masa SMA ku meskipun aku belum memiliki pacar. Karena mereka tidak berguna untukku, maksudku untuk sekarang. Masa-masa SMA lebih aku fokuskan untuk belajar dan menjalin relasi dengan teman-temanku. Sebenarnya bukan biografiku yang akan kuceritakan maupun masa-masa SMA ku.
Baiklah, jika kita tidak menceritakan tentang kedua hal tersebut, kita akan menceritakan sebuah kejadian dua tahun silam.  Di mana masa itu adalah masa yang paling asyik atau sedang nakal-nakalnya. Tepatnya pada umurku yang ketiga belas. Kala itu aku masih menggunakan banyak waktuku untuk melakukan kegiatan yang berguna dan berfaedah. Meskipun begitu tetap ada skenario terbaik di masa depan.
“Teng teng teng” , bakso....bakso... eh maksudnya bel masuk berbunyi. Seperti biasa setiap pelajaran di SMP ini akan dimulai selalu ada murid-murid yang masih berkeliaran di luar. Pemandangan ini adalah makanan sehari-hari bagiku yang bisa aku lihat dari jendela yang tepat berada di sampingku. Tok,tok,tok..... suara sepatu menyentuh lantai, suaranya seperti high heels dengan tinggi penopangnya tidak lebih dari 10 cm. Yah, tidak ada yang lebih seram selain guru killer kami yang sudah kami prediksi dari suara tok,tok,tok cantiknya. Anak-anak yang berada di luar langsung memasuki kelas. Dengan keadaan kelas yang tegang kami tetap mengikuti pelajaran meskipun sebenarnya pelajaran yang beliau berikan cukup sulit.
Sepulang sekolah aku berjalan melewati sebuah jalan kecil, karena keadaan cuaca yang kurang bersahabat maka kulangkahkan kaki menelusuri jalan itu dengan sedikit tergesa-gesa. Benar saja, butiran demi butiran air hujan membasahi tubuh. Rintik air yang begitu deras terasa menusuk-nusuk tubuhku, begitupun dengan hawa dingin yang menusuk. Akhirnya diriku berteduh di  sebuah rumah tua.
Bagian ketiga rumah tua. Bukan di dalamnya melainkan hanya di altarnya saja. Udara dingin yang semakin menjadi-jadi ditambah suara gelegar guntur yang membuat jantung berdegup kencang, petir juga berkilat-kilat di langit bagai cahaya kamera yang diarahkan kepada model. Altar cukup sepi dengan rintikan air hujan sampai aku menyadari seseorang berada di sampingku. Dia terlihat pucat dengan mata cekung dan badan menggigil.
Kuberanikan bertanya, “Pak, Bapak tidak apa-apa?”
Bapak itu menjawab dengan nada datar, “tidak apa, tidak apa,tidak apa.”
Mungkin orang ini adalah seorang paranoid tapi entahlah.
“Coba ceritakan Pak?”
“Aku tidak percaya ini. Aku bahkan tak percaya diriku sendiri. Aku telah mencoba memanggilnya tetapi dia tidak menjawab. Dia ingin aku pulang!” jawabnya dengan nada masih datar.
“Dia? Siapa dia?”
“Aku meninggalkan ayahku di saat aku sukses. Aku hanya percaya kepada uang dan jabatan. Sementara ayahku sendiri menungguku untuk pulang. Anaknya sangat sibuk bahkan duniapun akan aku lupakan jika aku bekerja. Dia meninggal dalam tidurnya. Aku belum membahagiakannnya”
“Tidak. Dia sudah bahagia di sana. Dia telah berhasil membuat anaknya menjadi orang sukses dan bisa membahagiakan ayahnya”
Matahari mulai menunjukkan rupanya dari awan kelabu yang mulai sirna. Wajah cerah menampak dari muka sang pria itu. Dia sudah tenang sekarang. Bagiku ini merupakan pelajaran yang berharga bahwa sesibuk apapun kita di dunia jangan pernah melupakan orang tua kita terlebih jika usianya sudah tua.
Tak terasa bajuku sudah kering dan langsung ku melangkah pulang. Aku masih mengingat kejadian ini dan tak pernah kulupakan dalam hidupku.

Karya             : Herdiansyah
Kelas               : X 8
Sekolah           : SMA N 1 Gantung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar