Kehidupan
adalah perjalanan yang panjang penuh tikungan tajam dan akan membuat kita jatuh
bila tidak berhati-hati. Orang tuaku memberiku nama Herdi, seorang anak yang
pendiam, keras kepala, dan tidak memperdulikan apapun atau bisa kita sebut
egois. Hidupku selalu berkecukupan, tidak kurang satu apapun dan tidak terlalu
manja kepada orang tuaku, tetapi inilah aku.
Aku
sangat mencintai masa-masa SMA ku meskipun aku belum memiliki pacar. Karena
mereka tidak berguna untukku, maksudku untuk sekarang. Masa-masa SMA lebih aku
fokuskan untuk belajar dan menjalin relasi dengan teman-temanku. Sebenarnya
bukan biografiku yang akan kuceritakan maupun masa-masa SMA ku.
Baiklah,
jika kita tidak menceritakan tentang kedua hal tersebut, kita akan menceritakan
sebuah kejadian dua tahun silam. Di mana
masa itu adalah masa yang paling asyik atau sedang nakal-nakalnya. Tepatnya
pada umurku yang ketiga belas. Kala itu aku masih menggunakan banyak waktuku
untuk melakukan kegiatan yang berguna dan berfaedah. Meskipun begitu tetap ada
skenario terbaik di masa depan.
“Teng
teng teng” , bakso....bakso... eh maksudnya bel masuk berbunyi. Seperti biasa
setiap pelajaran di SMP ini akan dimulai selalu ada murid-murid yang masih
berkeliaran di luar. Pemandangan ini adalah makanan sehari-hari bagiku yang
bisa aku lihat dari jendela yang tepat berada di sampingku. Tok,tok,tok.....
suara sepatu menyentuh lantai, suaranya seperti high heels dengan tinggi
penopangnya tidak lebih dari 10 cm. Yah, tidak ada yang lebih seram selain guru
killer kami yang sudah kami prediksi dari suara tok,tok,tok cantiknya. Anak-anak
yang berada di luar langsung memasuki kelas. Dengan keadaan kelas yang tegang
kami tetap mengikuti pelajaran meskipun sebenarnya pelajaran yang beliau
berikan cukup sulit.
Sepulang
sekolah aku berjalan melewati sebuah jalan kecil, karena keadaan cuaca yang
kurang bersahabat maka kulangkahkan kaki menelusuri jalan itu dengan sedikit
tergesa-gesa. Benar saja, butiran demi butiran air hujan membasahi tubuh.
Rintik air yang begitu deras terasa menusuk-nusuk tubuhku, begitupun dengan
hawa dingin yang menusuk. Akhirnya diriku berteduh di sebuah rumah tua.
Bagian
ketiga rumah tua. Bukan di dalamnya melainkan hanya di altarnya saja. Udara
dingin yang semakin menjadi-jadi ditambah suara gelegar guntur yang membuat
jantung berdegup kencang, petir juga berkilat-kilat di langit bagai cahaya
kamera yang diarahkan kepada model. Altar cukup sepi dengan rintikan air hujan
sampai aku menyadari seseorang berada di sampingku. Dia terlihat pucat dengan
mata cekung dan badan menggigil.
Kuberanikan
bertanya, “Pak, Bapak tidak apa-apa?”
Bapak
itu menjawab dengan nada datar, “tidak apa, tidak apa,tidak apa.”
Mungkin
orang ini adalah seorang paranoid tapi entahlah.
“Coba
ceritakan Pak?”
“Aku
tidak percaya ini. Aku bahkan tak percaya diriku sendiri. Aku telah mencoba
memanggilnya tetapi dia tidak menjawab. Dia ingin aku pulang!” jawabnya dengan
nada masih datar.
“Dia?
Siapa dia?”
“Aku
meninggalkan ayahku di saat aku sukses. Aku hanya percaya kepada uang dan
jabatan. Sementara ayahku sendiri menungguku untuk pulang. Anaknya sangat sibuk
bahkan duniapun akan aku lupakan jika aku bekerja. Dia meninggal dalam
tidurnya. Aku belum membahagiakannnya”
“Tidak.
Dia sudah bahagia di sana. Dia telah berhasil membuat anaknya menjadi orang
sukses dan bisa membahagiakan ayahnya”
Matahari
mulai menunjukkan rupanya dari awan kelabu yang mulai sirna. Wajah cerah
menampak dari muka sang pria itu. Dia sudah tenang sekarang. Bagiku ini
merupakan pelajaran yang berharga bahwa sesibuk apapun kita di dunia jangan
pernah melupakan orang tua kita terlebih jika usianya sudah tua.
Tak
terasa bajuku sudah kering dan langsung ku melangkah pulang. Aku masih
mengingat kejadian ini dan tak pernah kulupakan dalam hidupku.
Karya
:
Herdiansyah
Kelas : X 8
Sekolah : SMA N 1 Gantung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar